Senin, 25 Agustus 2008

Perikanan & Terumbu Karang yg Rusak: Bagaimana Mengelolanya?

Terumbu karang memiliki penyebaran yang luas dengan kekayaan sumberdaya hayati yang mengagumkan dan sangat menunjang kehidupan manusia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosistem tersebut memiliki produktivitas dan keragaman hayati (biodiversity) yang tinggi baik jenis ikan maupun non-ikan (invertebrata). Dalam ekosistem ini juga hampir seluruh filum yang hidup di laut terwakili dengan bentuk kehidupan dan interaksi organisme yang beragam dan kompleks. Para peneliti dan pengelola terumbu karang dalam beberapa tahun ini sangat prihatin dengan menurunnya kondisi terumbu karang dunia. Diperkirakan sekitar 50 - 70% terumbu karang secara potensial terancam oleh aktivitas manusia (Goreau, 1992; Sebens, 1994). Berdasarkan analisis terhadap ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang akibat aktivitas manusia (seperti pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebihan, praktik perikanan yang merusak, erosi, dan pencemaran), diperkirakan sekitar 27% dari terumbu karang dunia berada pada tingkat risiko tinggi dan 31% lainnya berada dalam risiko sedang (Bryant, et al., 1989). Ancaman-ancaman ini sebagian besar merupakan hasil dari peningkatan penggunaan sumber-sumber pesisir akibat populasi masyarakat pesisir yang berkembang secara cepat dan kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Di sisi lain, aktivitas penangkapan yang intensif di terumbu karang juga memberi pengaruh terhadap populasi ikan dan ekosistemnya. Pengaruh tersebut nyata karena penangkapan akan mudah mengubah komposisi dan ukuran hasil tangkapan perikanan dan selanjutnya mengubah proses-proses yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang. Secara teori, pengetahuan tentang pengaruh penangkapan dapat menolong para pengelola perikanan untuk memprediksi respons perikanan terhadap penangkapan dan menyeleksi suatu strategi pengelolaan yang dapat memelihara tipe hasil tangkapan dan kuantitas yang menguntungkan (Jennings & Lock, 1996). Mengingat besarnya ancaman terhadap terumbu karang dan ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang maka penulis mengulasnya dari sisi keterkaitan antara perikanan dan kerusakan terumbu karang, serta tindakan pengelolaan bagi terumbu karang yang sudah rusak.


PRODUKTIVITAS PERIKANAN TERUMBU KARANG

Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering menjadi tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) bagi pelbagai jenis ikan dan invertebrata. Kondisi ini menyebabkan tingginya produktivitas sekunder dan produktivitas perikanan, seperti jenis-jenis ikan, udang (lobster), oktopus, cumi-cumi, dan kekerangan. Ekspor ikan karang yang berasal dari perairan Indonesia pada tahun 1997 menghasilkan lebih dari US$ 97 juta atau sekitar 6% dari total hasil ekspor ikan di Indonesia (Salm, 1984). Estimasi hasil tangkapan lestari ikan-ikan karang Indonesia pada tahun tersebut diperkirakan 93.000 ton/tahun dan telah melampaui potensi lestari (76 ton/tahun) dengan tingkat pengusahaan sebesar 122% (Ditjen Perikanan Indonesia, 1998). Dengan mempertimbangkan luasan karang sebesar 85.700 km2 (Tomascik, et al., 1997) maka produksi sumberdaya ikan karang di Indonesia sekitar 1,09 ton/km2/tahun. Sebagai perbandingan, produksi perikanan karang di Laut Hindia bagian barat tercatat sekitar 1,37 ton/km2/tahun. Sedangkan yang tertangkap di pantai timur Pulau Mahe, Seychelles mencapai 5,6 ton/km2/tahun. Hasil tangkapan yang melampaui 20 ton/km2/tahun telah dilaporkan dari daerah rataan terumbu karang dan padang lamun yang secara intensif dieskploitasi untuk penangkapan hewan-hewan invertebrata dan ikan-ikan terumbu. Tangkapan lestari pada rataan terumbu yang dangkal melebihi 10 ton/km2/tahun (berada di bawah keadaan lebih tangkap yang serius), dan jika paparan di bawah punggung terumbu (reef crest) secara terpisah dipertimbangkan, maka umumnya pemanenan berkisar 1 – 3 ton/km2/tahun, tetapi menurun dengan bertambahnya kedalaman (Munro, 1996). Tangkapan lestari yang tertinggi sebesar 44 ton/km2/tahun di laporkan dari Samoa, Amerika (Wass, 1982). Suatu dampak dari adanya perdagangan ikan hidup yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga dalam keadaan mati, telah merangsang para nelayan untuk melakukan penangkapan dengan teknik yang cenderung merusak terumbu karang, misalnya dengan melakukan pembiusan dan penggunaan bubu sebagai salah satu penyebab kerusakan terumbu karang di Taka Bonerate, Sulawesi Selatan (Syafyudin, komunikasi pribadi). Selain ikan karang, penyu juga banyak dijumpai di terumbu karang dan ditangkap oleh nelayan setelah melepaskan telur-telurnya atau seringkali dibunuh, baik untuk diambil dagingnya ataupun cangkangnya sebagai hiasan. Walaupun aktivitas ini di beberapa daerah bersifat ilegal, menurut Salm (1984) sekitar 106 ton daging penyu hijau dari Karibia dikirim ke Bremen pada tahun 1981, jumlah tersebut setara dengan daging 7.000 ekor penyu dengan berat rata-rata 50 kg. Selain itu dilaporkan pula bahwa sekitar 32.000 – 105.000 ekor penyu mati setiap tahunnya terjual dan diekspor untuk hiasan dari tiga negara Asia Tenggara. Udang barong (spiny lobster) juga termasuk potensi sumberdaya alam hayati perairan karang yang banyak dieksploitasi, karena harga jualnya yang cukup tinggi. Penangkapan yang intensif telah menyebabkan populasinya semakin langka di alam. Sebagai contoh, di Papua Nugini, hasil tangkapan udang barong menurun dari 290 ton pada tahun 1976 menjadi 100 ton pada tahun 1981. Demikian pula di perairan karang Kepulauan Karimun Jawa, Jepara, saat ini sudah semakin sulit ditangkap terutama yang berukuran besar, jika dibandingkan dengan sekitar tahun-tahun 1980-an (Supriharyono, dkk., 1999). Produk perikanan lainnya yang sudah semakin menurun populasinya ialah kima (Tridacna spp). Selain dagingnya, cangkang kerang ini biasanya dimanfaatkan untuk bahan baku tegel teraso sehingga pengambilan kerang ini juga sangat intensif di perairan-perairan karang di seluruh dunia. Penangkapan hewan ini tidak sesulit dengan penangkapan hewan-hewan lainnya, karena sifat hidupnya yang menetap (sessil) sehingga mudah dieksploitasi (Supriharyono, 2000).

KERUSAKAN TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PERIKANAN

Terumbu karang sangat menunjang perikanan pantai, termasuk ikan dan invertebrata. Pemanfaatan oleh manusia dapat timbul dalam skala komersial besar atau dalam skala artisanal kecil. Tujuan utama dari perikanan yaitu mengumpulkan makanan, sementara tujuan perikanan lainnya dapat berkaitan dengan pengumpulan barang-barang cinderamata dan hiasan akuarium. Semua bidang usaha ini dapat dipengaruhi oleh kerusakan karang. Sementara itu, kebanyakan penelitian perikanan saat ini masih terfokus pada ikan yang dapat dimakan, kita sedikit saja menggunakan teori mutakhir untuk mengurangi dampak potensial dari degradasi terumbu karang pada perikanan terumbu karang secara garis besar. Berdasarkan teori-teori dasar perikanan, telah diterapkan beberapa prinsip dasar dalam tindakan pengelolaan untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang (Westmacott, et al., 2000). Dampak kerusakan karang (seperti pemutihan) bagi perikanan dapat mengikuti teori umum interaksi antara habitat ikan dengan terumbu karang (Pet-Soede, 2000). Beberapa faktor yang memberi sumbangan terhadap komposisi komunitas ikan di terumbu karang, semuanya berhubungan dengan struktur fisik dan kompleksitas terumbu karang itu sendiri. Pertama-tama, kompetisi makanan merupakan faktor penting dalam menentukan keragaman dan kelimpahan ikan. Pada terumbu karang sehat, kuantitas makanan yang cukup tinggi, berdampak positif dan langsung terhadap keragaman dan kelimpahan ikan (Robertson & Gaines, 1986). Pada terumbu karang yang kurang sehat (banyak karang mati) akan cepat ditumbuhi alga secara besar-besaran, alga tersebut kemudian dimakan oleh herbivora seperti ikan kakak tua (parrot fish) dan ikan butana (surgeon fish) dan akhirnya populasi dari jenis ini akan meningkat. Aktivitas makan yang tinggi dari jenis ikan ini dapat merusak struktur terumbu, yaitu terjadinya erosi kerangka karang, akan tetapi di sisi lain mereka juga membatasi pertumbuhan alga. Meningkatnya populasi ikan bernilai komersial ini juga memberikan keuntungan ekonomis (Westmacott, et al., 2000). Kedua, terumbu karang menyediakan lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva ikan dan ini akan turut menentukan struktur komunitas ikan dewasa nantinya (Medley, et al., 1983; Lewis, 1987). Terumbu karang yang memiliki struktur yang kompleks dan sehat akan memaksimalkan jumlah keragaman dan kuantitas ruang guna kesuksesan reproduksi. Ketiga, terumbu karang menyediakan naungan dan perlindungan diri dari predator, khususnya bagi ikan kecil dan ini mempengaruhi pola kelangsungan hidup dan kelimpahan saat dewasa (Eggleston, 1995). Secara garis besar, terumbu karang sehat berdampak positif bagi ketiga faktor tersebut (makanan, reproduksi, dan naungan) dan pengaruhnya ialah terjadinya peningkatan kelimpahan dan keragaman ikan. Peristiwa pemutihan karang karena peristiwa El NiƱo atau kasus pencemaran, tidak berdampak cepat terhadap hasil tangkapan ikan, karena secara umum komunitas ikan bereaksi lambat terhadap perubahan lingkungan dan sebagian karena beberapa perikanan bergantung pada rangkaian tunggal terumbu karang. Kematian karang akhirnya akan mempengaruhi suatu perikanan seiring dengan terdegradasinya struktur terumbu karang. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi menurut Pet-Soede (2000), yaitu:
a. Jika tidak terdapat karang mati, walaupun pemutihan karang telah terlokalisasi atau ekstensif, sangat kecil kemungkinan terjadi perubahan pada perikanan, baik pada komposisi penangkapan atau laju tangkapan;
b. Jika pemutihan telah terlokalisasi dengan tingkat kematian yang rendah, perubahan lokal mungkin terjadi pada struktur komunitas ikan terumbu karang, khususnya jika jenis karang tertentu telah terpengaruh. Menurunnya keragaman karang dan kompleksitas habitat dapat
mempengaruhi komposisi dan laju tangkapan lokal;
c. Jika pemutihan karang berlangsung secara ekstensif dan kematian secara massal terjadi,
dapat terjadi perubahan penting dalam perikanan. Perubahan dalam jangka panjang berkaitan dengan hilangnya kompleksitas dan keragaman habitat melalui erosi karang mati. Jenis pemakan karang, seperti ikan kepe-kepe (butterfly fish), dan yang khusus memanfaatkan karang sebagai naungannya, seperti beberapa ikan damsel (damsel fish) dapat dipastikan sebagai kelompok ikan pertama yang akan menurun populasinya. Akan tetapi, beberapa laporan menyatakan bahwa perubahan yang pertama kali terjadi mungkin pada kuantitas ikan pemakan alga seperti ikan kepe-kepe dan ikan butana, sebagai hasil pertumbuhan alga yang berlebihan pada karang-karang yang mati;
d. Dampak tambahan potensial, walau belum dapat dipastikan, ialah pemutihan karang (coral bleaching) dapat menyebabkan keracunan Ciguatera. Racun Ciguatera diproduksi oleh alga mikroskopis bersel tunggal (dinoflagellata) yang tumbuh sangat subur pada permukaan karang mati yang luas. Saat ikan memakan alga, racun terkumpul dalam tubuh mereka dan menyebabkan keracunan pada manusia. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan alga yang berlebihan pada terumbu karang yang terdegradasi (Quod, et al., 2000); Perubahan terumbu karang karena kematian karang dapat mempengaruhi hasil perikanan, jenis perikanan dan distribusi ruang usaha perikanan, melalui:
-Penurunan kemaksimalan hasil melalui reduksi makanan, lingkungan yang cocok bagi proses reproduksi ikan dan tempat perlindungan. Konsekuensinya dapat bervariasi menurut jenis perikanan;
-Dalam perikanan yang bergantung sepenuhnya pada ikan terumbu karang, tingkat tangkapan
mungkin berkurang dan komposisi hasil tangkapan dapat berubah menjadi jenis-jenis ikan herbivor. Ikan-ikan ini umumnya bernilai jual lebih rendah, sehingga pendapatan nelayan berkurang. Komunitas nelayan dengan sedikit pilihan sumber pendapatan akan mengalami kesulitan;
-Perikanan yang menargetkan ikan besar perenang bebas dan mencari makanannya di dekat terumbu karang akan mengalami penurunan tangkapan jika jenis tersebut bermigrasi ke daerah yang lebih baik untuk mencari mangsanya; -Perikanan dengan target jenis ikan kecil perenang bebas dan menempati daerah terumbu karang atau laguna pada kurun waktu tertentu dalam hidupnya, mungkin akan mengalami penurunan tangkapan saat terumbu karang menghilang;
-Perikanan multi-jenis dan multi-alat, yang umum di Samudera Hindia dan daerah terumbu karang lainnya, mungkin cukup fleksibel dalam beradaptasi terhadap perubahan ketersediaan ikan dan sumber mata pencaharian nelayan daerah tersebut. Lamanya waktu yang diperlukan dalam mempengaruhi ketersediaan perikanan akan memberi waktu pada nelayan untuk melakukan adaptasi.
e. Perubahan struktur terumbu karang mendorong penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak, seperti trawling, yang sebelumnya tidak bisa digunakan karena rusaknya peralatan oleh karang; dan
f. Perubahan karakteristik ruang dari habitat terumbu karang dapat mengakibatkan nelayan memindahkan usaha perikanan ke daerah lain untuk beberapa jenis ikan target.

TINDAKAN-TINDAKAN PENGELOLAAN

Regulasi
Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah suatu tantangan dengan banyaknya orang yang terlibat, dan banyak di antaranya tidak memiliki sumber pendapatan atau protein alternatif. Banyak komunitas lokal memiliki sedikit pilihan mata pencaharian dan kecil kemungkinan untuk beradaptasi dengan kondisi baru. Peningkatan pengertian dan kerjasama dalam komunitas setempat sangat penting. Menurut Westmacott, et al. (2000), langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil dengan memberikan perhatian khusus bagi tindakan-tindakan sebagai berikut :
a. Menentukan daerah tidak boleh menangkap ikan (daerah bebas penangkapan) dan pembatasan alat penangkapan untuk melindungi tempat berkembang biak dan menyediakan tempat berlindung bagi ikan;
b. Menentukan ukuran ikan yang boleh ditangkap bagi:
· ikan pemakan alga, seperti ikan kakak tua dan ikan butana yang berperan penting dalam mempertahankan substrat yang tepat bagi penempelan larva karang;
· ikan pemakan karang, seperti ikan kepe-kepe dan ikan damsel yang ditangkap untuk perdagangan ikan akuarium, mungkin berkurang populasinya karena habitat dan sumber makanannya menurun.
c. Penghentian sementara penangkapan beberapa jenis ikan terumbu karang sampai pulihnya terumbu karang tersebut;
d. Memberlakukan peraturan yang melarang praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan dinamit, jaring insang (gill net), pukat cincin (purse seine), sianida dan racun lainnya yang dapat merusak terumbu karang;
e. Memantau komposisi dan ukuran penangkapan untuk mengevaluasi kesuksesan strategi pengelolaan dan mengimplementasikan strategi baru jika diperlukan;
f. Mengembangkan mata pencaharian alternatif bagi komunitas nelayan bila diperlukan;
g. Membatasi masuknya nelayan baru ke daerah penangkapan ikan dengan sistem pemberian izin;
h. Mengatur pengambilan biota-biota terumbu karang untuk akuarium dan cindera mata. Peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan ini terdapat di beberapa negara dan harus digalakkan. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dapat membantu mengontrol perdagangan internasional dengan memberikan izin ekspor seluruh karang batu dan beberapa kerang (seperti kima raksasa). Negara-negara anggota CITES harus melaksanakan kewajiban mereka.

Alterasi Habitat
Selain tindakan-tindakan yang bersifat konvensional di atas juga dapat pula dilakukan pelbagai tindakan lain untuk memperbaiki produktivitas perikanan melalui manipulasi habitat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara penggunaan habitat buatan seperti penempatan terumbu buatan atau dengan perbaikan habitat yang rusak oleh manusia atau alam.

a. Terumbu Buatan (Artificial Reef)
Terumbu buatan adalah struktur yang berfungsi sebagai tempat perlindungan dan habitat, sumber makanan, daerah pemijahan, dan perlindungan garis pantai (White, et al., 1990). Terumbu buatan dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan material yang berbeda (Grove, et al., 1991). Terumbu buatan secara normal ditempatkan pada daerah yang produktivitasnya rendah atau habitat yang telah mengalami degradasi dan berhasil menjadi habitat untuk ikan dan organisme dasar seperti lobster, teripang, tiram, abalone, lola, dan rumput laut. Fungsi utama terumbu buatan ialah:
- mengkonsentrasikan organisme untuk penangkapan yang lebih efisien;
- melindungi organisme kecil/juvenil dan daerah pengasuhan dari pengrusakan alat tangkap;
- meningkatkan produktivitas alami dengan memberikan habitat baru bagi organisme penempel untuk melekat permanen dan diikuti oleh terbentuknya suatu asosiasi rantai makanan (food chain); dan
- menciptakan habitat dan meniru terumbu-terumbu alami untuk menarik spesies target.

Terumbu-terumbu buatan meningkatkan sistem-sistem alami. Peningkatan terjadi melalui penambahan ruang dan daerah permukaan yang diciptakan dengan struktur dalam kolom air. Penambahan ruang di daerah permukaan memberikan suatu kesempatan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan laut untuk melekat dan mencari tempat perlindungan, atau dalam kata lain ialah untuk meningkatkan jumlah habitat yang tersedia untuk kehidupan laut. Meskipun terumbu buatan memiliki beragam maksud peruntukan, tetapi umumnya digunakan dalam perikanan dan untuk perbaikan habitat, atau meringankan kerusakan (Seaman & Sprague, 1991). Beberapa di antaranya telah digunakan untuk melindungi secara pasif daerah-daerah habitat yang kritis dari pengoperasian ilegal trawl di Spanyol (Ramos-Espla & Bayle-Sempere, 1990) dan di Teluk Thailand (Polovina, 1991). Perbandingan sediaan yang bisa dipanen (standing crop) dan keragaman ikan sebelum dan sesudah penempatan terumbu buatan di Hawaii, memperlihatkan suatu peningkatan jumlah spesies dan kelimpahan setiap spesies (Brock & Buckley, 1984). Beberapa hasil studi juga menunjukkan bahwa total produksi meningkat untuk organisme-organisme tertentu, seperti oktopus (Polovina & Sakai, 1989), dan juvenil spiny lobster, Panulirus argus (Eggleston, et al., 1990). Kemampuan habitat buatan untuk meningkatkan produksi bergantung pada ekologi dari spesies target, desain terumbu, dan lokasi penempatan. Polovina (1991) mencatat bahwa terumbu buatan dapat meningkatkan biomas yang dapat dieksploitasi melalui peningkatan total biomas (sepanjang overfishing rekrutmen tidak terjadi). Jika overfishing rekrutmen terjadi, maka terumbu buatan dapat menjadi masalah buruk melalui pengelompokan ikan-ikan yang tersisa, sehingga lebih riskan untuk ditangkap.

b. Restorasi Habitat.

Usaha-usaha juga harus dibuat untuk menciptakan, memperbaiki, merehabilitasi atau mengurangi kerusakan habitat-habitat alami yang hilang. Aktivitas tersebut telah dipraktikkan secara luas. Restorasi digunakan terutama untuk memperbaiki atau mengganti kembali habitat-habitat yang telah rusak oleh aktivitas manusia atau peristiwa alam seperti badai. Habitat tropik penting yang dapat direstorasi, meliputi mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan rawa pasang surut yang kesemuanya merupakan pruduser primer utama dan habitat kritis untuk banyak spesies pantai yang penting (Bohnsack, 1989). Khusus untuk restorasi terumbu karang, teknik yang biasa digunakan ialah dengan teknik transplantasi karang, seperti yang dilakukan di Kepulauan Maldive pada kedalaman 0,8 – 1,5 m pada daerah yang mengalami kerusakan akibat penambangan (Clark & Edwards, 1995) dan di Pulau Lizard, Great Barrier Reef bagian utara (Kaly, 1995). Thayer (1992) menekankan bahwa restorasi tersebut harus menghubungkan sifat-sifat fungsional habitat pada tingkat habitat alami. Keberhasilan harus dapat diukur dalam pengertian fungsi, bukan hanya luasan daerah yang direstorasi. Woodley & Clark (1989) telah mencoba restorasi terumbu karang dan menyimpulkan bahwa pada beberapa percontohan mereka sukses merehabilitasi terumbu karang. Namun demikian, efisiensi biaya belum dapat diperoleh jika diaplikasikan pada daerah yang luas. Rehabilitasi terumbu karang mungkin dapat dicobakan hanya di daerah yang secara khusus bernilai tinggi seperti taman laut atau kawasan-kawasan konservasi laut.
Restorasi habitat, meskipun kurang didukung data, betul-betul dipertimbangkan sebagai salah satu pendekatan penting untuk perbaikan produktivitas perikanan dalam jangka panjang. Penilaian ini berdasarkan realisasi pada hilangnya habitat secara besar-besaran yang telah terjadi di banyak daerah di dunia. Pada 48 negara bagian AS, sebagai contoh, sekitar 54% dari 915.000 km2 lahan basah telah hilang pada pertengahan tahun 1970-an. Penelitian utama pada daerah yang telah direstorasi harus membuktikan hipotesis bahwa restorasi habitat mendukung populasi dan memberikan fungsi ekologi serta dapat dibandingkan dengan habitat-habitat alami (Fox, 1992).

PENUTUP

Terumbu karang sangat berarti secara ekonomi pada perikanan daerah tropis. Dengan kekayaan sumberdaya perikanannya, baik dalam skala kualitas maupun kuantitas, telah menyebabkan ekosistem ini mengalami degradasi yang cukup serius pada hampir seluruh kawasan di dunia yang memiliki terumbu karang. Tekanan atau degradasi sumberdaya terumbu karang sebagian besar berasal dari aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tak langsung. Suatu pengaruh langsung dari aktivitas manusia yang cukup parah berasal dari eksploitasi hasil-hasil perikanan dengan menggunakan metode-metode yang sangat merusak, seperti penggunaan dinamit, racun atau dengan trawling. Sedangkan aktivitas manusia secara tidak langsung seperti peningkatan pembangunan di wilayah pesisir secara tidak terkendali, aktivitas pertanian, dan polusi perairan. Kerusakan pada sistem-sistem terumbu karang tentunya akan berdampak besar terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang dalam jangka waktu yang lama, karena hilangnya sumber makanan, tempat berlindung dan tempat memijah. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi terumbu karang dan memulihkan produktivitas perikanan terumbu, yaitu regulasi penangkapan seperti pengalihan ke praktik penangkapan yang tidak merusak, penutupan area terumbu karang untuk sementara dari penangkapan sampai pulihnya kembali terumbu karang, pengaturan dalam pemberian izin penangkapan, dan pembatasan pengambilan organisme terumbu karang untuk akuarium dan hiasan (cindera mata). Bagi terumbu karang yang telah rusak bisa dilakukan restorasi habitat dengan transplantasi karang dan terumbu buatan, dan yang populer dalam perlindungan ekosistem dan sumberdaya hayati ialah dengan pendirian daerah reservasi (konservasi) secara permanen. Kawasan konservasi (reservasi) mungkin bertambah penting untuk pengelolaan perikanan tropis terutama di daerah-daerah pantai. Idealnya reservasi seharusnya diadakan sebelum stok runtuh dan harus dikombinasikan dengan tindakan-tindakan pengelolaan lainnya.

Tidak ada komentar: