Senin, 15 September 2008

Pertumbuhan Tahunan Karang Keras: Hubungannya dengan Suhu dan Curah Hujan (Chair Rani, Jamaluddin Jompa & Amiruddin)

Pertumbuhan karang merupakan pertambahan panjang linear, bobot, volume atau luas kerangka kapur karang dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, pembentukan kerangka karang diinterpretasikan sebagai kenaikan bobot kerangka karang yang disusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonit kristal dan kalsit (Goreau et al., 1982). Pertumbuhan itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, sedimentasi dan aktivitas biologi (Jokiel dan Coles, 1977; Sammarco et al., 1983; Brown et al.,1985; Kendall et al., 1985).
Suhu dan curah hujan merupakan dua faktor lingkungan penting yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan karang. Dinamika kedua faktor tersebut terkait dengan adanya perubahan musim. Laju pertumbuhan karang-karang terumbu secara langsung proporsional terhadap suhu. Demikian pula curah hujan berkorelasi dengan densitas dari rangka karang. Adanya variasi dari kedua faktor tersebut menyebabkan adanya perbedaan laju pertumbuhan karang-karang terumbu di antara lokasi dan musim yang berbeda (Buddemeier dan Kinzie, 1976; Hubbard, 1997).
Terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam menganalisis laju pertumbuhan karang, yaitu: (1) Metode Real Time, berupa pengukuran langsung terhadap panjang, luasan, volume, bobot, dan laju kalsifikasi karang dalam suatu unit waktu; dan (2) Metode Retrospective, dengan teknik radiometri (menggunakan sinar-x atau ultra violet) untuk membaca pola-pola pertumbuhan tahunan yang terekam pada bagian epiteka dari rangka karang. Garis pertumbuhan yang terekam pada rangka karang tersebut akan memperlihatkan pola yang berbeda menurut musim (Buddemeier dan Kinzie, 1976).
Pertumbuhan karang memperlihatkan variasi dalam skala waktu (hari ke minggu, minggu ke bulan, musim ke tahun). Variasi pertumbuhan tersebut menyebabkan data laju pertumbuhan yang diperoleh melalui pendekatan real time untuk memprediksi laju pertumbuhan tahunan seringkali berbias. Oleh karena itu metode Retrospective dengan teknik sinar-x dapat melengkapi hasil-hasil pengukuran laju pertumbuhan karang. Melalui metode ini, juga dapat dilakukan kajian tentang keterkaitan pertumbuhan karang dengan faktor lingkungan (faktor oseanografi atau iklim).
Artikel ini mencoba menguraikan hasil pengukuran pertumbuhan tahunan karang keras Porites lutea dengan metode X-Ray pada beberapa lokasi perairan di Makassar dan mencoba menganalisis keterkaitan dengan faktor suhu dan curah hujan. Sampel karang P. lutea dikumpulkan sebanyak 5 koloni dengan ukuran diameter ± 15 cm yang diambil pada kedalaman 3–4 m dalam jarak yang berdekatan sehingga dapat diasumsikan karang tersebut berada dalam kondisi lingkungan yang sama. Sampel karang yang terkumpul, dipotong secara melintang dan tegak lurus dengan titik axial growth sehingga dihasilkan lempengan dengan ketebalan sekitar 10 mm. Lempengan karang tersebut kemudian dipapar dengan sinar-x selama 1,6 detik pada kisaran 40 KV dan 100mA. Jarak spesimen ke sumber film kurang lebih 90 cm.
Pengukuran Laju Pertumbuhan Tahunan
Hasil foto sinar-x memperlihatkan perbedaan kerapatan (densitas) kerangka kapur karang pada musim hujan dan musim kemarau. Densitas pada musim hujan terwakili dengan warna gelap (high density band=HD band) dan densitas musim kemarau dengan warna terang (low density band=LD band). Untuk menghitung laju pertumbuhan tahunan dilakukan dengan cara:
- Menentukan garis pertumbuhan tahunan karang.
- Menarik garis tegak lurus terhadap garis pertumbuhan dari titik axial growth.
- Menghitung jarak dari titik tengah HD band satu dengan titik HD band terdekat melalui garis tegak lurus yang menunjukkan pertumbuhan tahunan (mm) yang terjadi dari pertengahan musim hujan sampai pertengahan musim hujan tahun berikutnya.
Teknik Analisis Data
Analisis laju pertumbuhan selama 8 tahun antar lokasi dilakukan dengan analisis ragam satu arah (one way ANOVA) dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata menurut metode Bonferroni.
Data iklim merupakan data sekunder yang diperoleh dari Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah IV Makassar. Data yang dicatat adalah suhu udara dan curah hujan yang terjadi selama 8 tahun terakhir dari Februari 1994 sampai Januari 2002. Analisis hubungan antara laju pertumbuhan tahunan dengan suhu udara dan curah hujan dilakukan berdasarkan lokasi dan gabungan dari ketiga lokasi dengan teknik analisis regresi berganda, mengikuti persamaan:
Yi = a + b1 X1i + b 2 X2i
dimana: Yi = rata-rata laju pertumbuhan tahunan pada tahun ke-i; a dan b = koefisien regresi; X1i = rata-rata suhu udara (oC) pada tahun ke-i; dan X2i = rata-rata curah hujan (mm) pada tahun ke-i.
Untuk mengetahui peubah bebas yang memberi pengaruh nyata (suhu udara dan/atau curah hujan) terhadap laju pertumbuhan karang dilakukan pengujian koefisien regresi (b1 dan b2) dengan uji-t.
Laju Pertumbuhan Tahunan
Laju pertumbuhan yang diperoleh memperlihatkan variasi menurut waktu dan lokasi. Laju pertumbuhan terendah terjadi di Pulau Lae-Lae (8,4-10,2 mm/tahun), sedangkan paling tinggi di Pulau Samalona (10,6-12,0 mm/tahun). Secara umum, laju pertumbuhan di ketiga lokasi penelitian memperlihatkan kecenderungan yang hampir sama. Periode Februari 1994–Januari 1997 merupakan periode dengan laju pertumbuhan minimum, terkait dengan suhu udara rendah dan curah hujan tinggi.
Periode Februari 1997–Januari 1999 laju pertumbuhan karang naik seiring kenaikan suhu udara dan perubahan curah hujan. Pertumbuhan maksimum terjadi dalam periode Februari 1999–Januari 2001 sesuai dengan perubahan iklim, terutama naiknya suhu udara tahunan yang relatif tinggi.
Hal yang menarik, fenomena alam El Nino dan La Nina pada tahun 1997–1998 yang terjadi secara global pada berbagai wilayah ternyata tidak terjadi di lokasi penelitian ini. Fenomena ini dibuktikan dengan data pertumbuhan yang tidak menunjukkan adanya anomali laju pertumbuhan dalam kurun waktu tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, hal yang sama juga ditunjukkan oleh data suhu udara dan curah hujan yang memperlihatkan tidak adanya perubahan yang berarti pada tahun-tahun tersebut.
Berdasarkan analisis ragam didapatkan adanya perbedaan nyata (P≤0,05) rata-rata laju pertumbuhan karang selama 8 tahun antar lokasi penelitian. Hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa pertumbuhan karang yang tinggi terjadi di Pulau Samalona (11,1± 0,15 mm) dan Pulau Bone Batang (10,9±0,12 mm) dan berbeda nyata dengan Pulau Lae-Lae (9,2± 0,11 mm). Sedangkan antara Pulau Samalona dan Pulau Bone Batang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Laju pertumbuhan yang rendah di Pulau Lae-Lae memang sudah diprediksi sebelumnya. Letak pulau yang berdekatan dengan daratan utama dan muara Sungai Jeneberang merupakan alasan utama mengapa karang tidak dapat tumbuh dengan baik.
Dari penelitian tentang sebaran sedimen dari muara Sungai Jeneberang diketahui bahwa aliran muara sungai ini banyak membawa butiran sedimen berupa lanau dan lempung ke arah utara yakni di sekitar Pulau Lae-Lae (Lamma, 2002). Butiran sedimen tersebut dapat mengendap dan menutupi koralit sehingga mengganggu proses makan karang. Polip karang harus mengeluarkan banyak lendir yang digunakan untuk melepaskan butiran-butiran yang mengendap pada tubuhnya (Buddemeier dan Kinzie, 1976). Selain itu butiran sedimen akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke perairan, tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis simbiose zooxanthella dalam karang akan berkurang dan kemudian akan mempengaruhi kemampuan karang untuk membentuk kerangka (Suharsono, 1984). Limbah industri dan rumah tangga serta aktivitas di Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta juga menyebabkan pencemaran di sekitar Pulau Lae-Lae yang diduga mempengaruhi pertumbuhan karangnya. Walaupun belum ada data kuantitatif yang menunjukkan tingkat pencemaran perairan di Pulau Lae-Lae, tetapi berdasarkan pengamatan visual banyak dijumpai genangan minyak dan limbah padat. Hal ini ditunjang oleh data tentang kondisi perairan di Pantai Losari yang berdekatan dengan Pulau Lae-Lae yang sudah masuk dalam kategori tercemar (Lifu, 2001). Pertumbuhan karang yang berada di lokasi tercemar akan berkurang karena karang harus mengalokasikan energi yang lebih banyak untuk proses adaptasi (Edmunds dan Davies, 1989).
Laju pertumbuhan karang di Pulau Samalona memiliki laju terbesar dari ketiga lokasi penelitian. Kondisi lingkungan yang bagus, seperti kecerahan tinggi (mencapai 100%) diduga ikut menunjang pertumbuhan karang yang baik di daerah ini. Perairan yang jernih merupakan media yang baik untuk pertumbuhan karang, penetrasi cahaya yang dapat mencapai dasar perairan akan menjamin ketersediaan cahaya matahari. Cahaya matahari yang cukup diperlukan untuk proses fotosintesis zooxanthella. Aktivitas fotosintesis yang optimal dengan sendirinya memacu pertumbuhan karang (kalsifikasi), dalam hal ini meningkat sejalan dengan penurunan konsentrasi CO2 akibat proses fotosintesis tersebut (Goreau dan Goreau, 1959; Boaden dan Seed, 1985).
Daratan pulau yang belum stabil dan tingginya aktivitas penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bius diduga sebagai alasan mengapa pertumbuhan karang di Pulau Bone Batang lebih rendah dari Pulau Samalona. Perubahan garis pantai yang terjadi setiap musim membuat butiran sedimen tersuspensi. Butiran sedimen ini jelas mempengaruhi penetrasi cahaya ke dasar perairan sehingga proses fotosintesis dari zooxanthella dapat terganggu. Selain itu endapan sedimen pada permukaan koloni karang juga memberi pengaruh negatif terhadap pertumbuhan karang.
Secara umum rata-rata laju pertumbuhan tahunan di ketiga pulau berkisar 9,9-11,1 mm/tahun. Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976), laju pertumbuhan karang masif yang berkisar 10-12 mm/tahun tergolong pertumbuhan yang maksimum. Berdasarkan kriteria tersebut, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan karang di perairan Pulau Lae-Lae tumbuh dalam laju yang normal, sedangkan di Pulau Samalona dan Bone Batang pertumbuhan karangnya masih dalam laju yang maksimum. Meskipun pertumbuhan karang di perairan Pulau Lae-Lae masih dalam laju yang normal, namun sudah terindikasi mengalami tekanan jika dibandingkan dengan pulau-pulau yang terletak lebih jauh dari daratan utama. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pengelolaan untuk menjamin pertumbuhan karang di Pulau Lae-Lae, seperti mencegah siltasi yang ekstrim di muara Sungai Jeneberang dan penanganan limbah perkotaan sebelum masuk ke perairan Pantai Losari dan sekitarnya.
Hubungan Laju Pertumbuhan dengan Faktor Iklim
Hasil analisis hubungan antara laju pertumbuhan karang dengan suhu udara dan curah hujan yang dilakukan pada setiap pulau dan gabungan ketiga pulau disajikan pada Tabel 3.Melalui persamaan regresi yang dianalisis selama 8 tahun, diketahui bahwa peningkatan suhu udara akan meningkatkan laju pertumbuhan (berkorelasi positif), sedangkan peningkatan curah hujan akan menurunkan laju pertumbuhan (berkorelasi negatif). Terlihat bahwa terjadi korelasi yang kuat antara laju pertumbuhan dengan suhu udara dan/atau curah hujan pada lokasi penelitian dengan nilai R berkisar 0,831-0,931. Nilai minimum koefesien determinasi (0,690) diperoleh di Pulau Samalona menunjukkan bahwa minimum sekitar 69% dari keragaman laju pertumbuhan karang dapat dijelaskan dengan model regresi yang digunakan.
Hasil uji koefesien regresi pada masing-masing pulau terlihat bahwa peubah suhu udara berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan karang pada setiap pulau, sedangkan peubah curah hujan hanya berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan karang di Pulau Bone Batang dan gabungan ketiga pulau, namun tidak berpengaruh nyata di Pulau Lae-Lae dan Samalona.
Secara umum peningkatan suhu perairan akan meningkatkan laju pertumbuhan karang. Pertumbuhan maksimum karang biasanya terjadi di musim kemarau, yaitu bersamaan dengan peningkatan suhu perairan. Namun peningkatan suhu secara terus-menerus akan membuat pertumbuhan karang naik sampai pada titik tertentu dan kemudian menurun karena penurunan laju metabolisme dan fotosintesis zooxanthella (Tomascik et al., 1997). Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976), karang hidup optimal pada batas toleransi tertentu terhadap suhu yaitu pada kisaran 25-29oC, meskipun demikian beberapa jenis karang dapat hidup pada suhu minimum 14oC dan beberapa jenis lainnya ditemukan pada suhu maksimum 36-40oC, namun laju pertumbuhannya sangat menurun.
REFERENSI
Boaden, P. J. S. & R. Seed. 1985. An Introduction to Coastal Ecology. Blackie & Sons Ltd., Glasgow. 218p.
Brown, B. E., L. Sya’rani & M. L. Tessier. 1985. Skeletal form and growth in Acropora aspera (Dana) from the Pulau Seribu, Indonesia. J. Exp. Mar. Ecol., 86: 139–150.
Buddemeier, R. W. & R. A. Kinzie. 1976. Coral growth. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev., 14: 183–225.
Edmunds, P. J. & P. S. Davies. 1989. An energy budget for Porites porites, growing in a stressed environment. Coral Reef, 8: 37–43.
Goreau, T. F. & N. I. Goreau. 1959. The physiology of skeleton formation in corals II. Calcium deposition by hermatypic corals under various conditions in the reef. Biol. Bull., 117: 239–250.
Goreau, T. F., N. I. Goreau & T. J. Goreau. 1982. Corals and Coral Reefs in the Sea. W. H. Freeman and Company, San Francisco.
Hubbard, D. K. 1997. Reefs as dynamic systems. In: Life and Death of Coral Reefs (ed. C. Birkeland). Chapman & Hall, New York. Pp. 43–67.

Jokiel, P. L. & S. L. Coles. 1977. Effects of temperature in the mortality and growth of Hawaiian reef corals. Mar. Biol., 43: 201–208.

Jompa, J. 1996. Monitoring and assessment of coral reef in South Sulawesi Indonesia. Thesis. McMaster University, Hamilton, Canada.

Kendall, J. J., E. N. Jr. Powell, S. J. Connor, T. J. Bright & C. E. Zastrow. 1985. The importance of monitoring metabolic recovery in the coral Acropora cervicornis after short-term exposure to drilling muds: calcification rate and protein concentration. Coral Reefs, 2: 215–225.
Lamma, A. 2002. Pola sebaran sedimen dasar di perairan sekitar muara Sungai Jeneberang Makassar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unhas, Makassar.

Lifu, I. 2001. Estimasi BOD di sekitar Pantai Losari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unhas, Makassar.

Sammarco, P. W., J. C. Coll, S. LaBarre & B. Willis. 1983. Competitive strategies of soft corals (Coelenterata: Octocorallia): allelopathic effects on selected Scleractinian corals. Coral Reef, 1: 173–178.

Suharsono. 1984. Pertumbuhan karang. Oseana, IX(2): 41–48.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji & M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas (Part 1 & 2). Vol. 7. Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore.
Veron, J. E. N. 1986. Corals of Australia and the Indo-Pacific. University of Hawaii Press, Honolulu. 644p.



Rabu, 10 September 2008

Rangkuman:Kajian Keberhasilan Ekologi dari Lamun Buatan: Penilaian pd Komunitas Ikan (Chair Rani, Budimawan & M. Yamin)

Ringkasan ini merupakan rangkuman dari hasil kajian mengenai keberhasilan ekologi dari lamun buatan yaitu dengan membandingkan komunitas ikan antara lamun alami dan lamun buatan serta mengurai keterkaitannya dengan gradien lingkungan. Penelitian dirancang secara eksperimental dengan menanam lamun buatan dalam luasan 4 x 4 m2 dengan 3 ulangan (plot). Material lamun buatan yang digunakan berupa tali kalas (plastik) dengan jarak antara rumpun 30 cm. Perubahan struktur komunitas ikan dipantau setiap minggu selama 2 bulan penelitian. Pengamatan ikan dengan teknik sensus visual dilakukan pada siang hari saat air pasang. Data yang dikumpulkan dipelajari struktur komunitasnya dengan menghitung komposisi jenis, kepadatan, indeks ekologi (keanekaragaman, keseragaman dan dominansi) dan dianalisis perubahannnya secara temporal (waktu sampling) dengan bantuan grafik. Untuk mengevaluasi keberhasilan ekologinya maka struktur komunitas setiap komunitas pada lamun buatan dibandingkan dengan lamun alami dan dianalisis dengan uji t-student. Selain itu juga dipelajari kemiripan struktur komunitasnya dengan teknik analisis gerombol (Cluster Analysis). Sedangkan keterkaitan struktur komunitas dengan gradien lingkungan dianalisis dengan analisis multivariat dengan teknik Canonical Corespondence Analysis (CCA) dengan bantuan perangkat lunak Biplot. Hasil penelitian ditemukan ada 9 jenis ikan yang hidup/berkunjung pada lamun buatan yang didominasi oleh 4 jenis yaitu Halichoeres chloropterus, Abudefduf vaigiensis, Pomacentrus tripunctatus, dan Pentapodus trivittatus. Jumlah jenis dan kepadatan ikan di lamun alami masih lebih tinggi dan berbeda nyata dengan lamun buatan dan secara ekologi (berdasarkan nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi) menunjukkan bahwa komunitas ikan di lamun alami masih lebih bagus dibandingkan dengan komunitas ikan di lamun buatan. Meskipun demikian pada lamun buatan menciptakan habitat (niche) yang unik bagi ikan dibanding dengan lamun buatan yang tercermin dari struktur komunitas ikan penyusunnya yang memperlihatkan perbedaan yang kontras. Adapun sebaran temporal komunitas ikan di lamun buatan terkait dengan kecepatan arus. Ikan dengan morfologi tubuh yang besar kehadirannya menonjol pada kondisi kecepatan arus yang tinggi, demikian pula sebaliknya ikan dengan bentuk tubuh yang kecil kehadirannya dominan pada kondisi kecepatan arus yang lebih rendah.