Senin, 15 September 2008

Pertumbuhan Tahunan Karang Keras: Hubungannya dengan Suhu dan Curah Hujan (Chair Rani, Jamaluddin Jompa & Amiruddin)

Pertumbuhan karang merupakan pertambahan panjang linear, bobot, volume atau luas kerangka kapur karang dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, pembentukan kerangka karang diinterpretasikan sebagai kenaikan bobot kerangka karang yang disusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonit kristal dan kalsit (Goreau et al., 1982). Pertumbuhan itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, sedimentasi dan aktivitas biologi (Jokiel dan Coles, 1977; Sammarco et al., 1983; Brown et al.,1985; Kendall et al., 1985).
Suhu dan curah hujan merupakan dua faktor lingkungan penting yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan karang. Dinamika kedua faktor tersebut terkait dengan adanya perubahan musim. Laju pertumbuhan karang-karang terumbu secara langsung proporsional terhadap suhu. Demikian pula curah hujan berkorelasi dengan densitas dari rangka karang. Adanya variasi dari kedua faktor tersebut menyebabkan adanya perbedaan laju pertumbuhan karang-karang terumbu di antara lokasi dan musim yang berbeda (Buddemeier dan Kinzie, 1976; Hubbard, 1997).
Terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam menganalisis laju pertumbuhan karang, yaitu: (1) Metode Real Time, berupa pengukuran langsung terhadap panjang, luasan, volume, bobot, dan laju kalsifikasi karang dalam suatu unit waktu; dan (2) Metode Retrospective, dengan teknik radiometri (menggunakan sinar-x atau ultra violet) untuk membaca pola-pola pertumbuhan tahunan yang terekam pada bagian epiteka dari rangka karang. Garis pertumbuhan yang terekam pada rangka karang tersebut akan memperlihatkan pola yang berbeda menurut musim (Buddemeier dan Kinzie, 1976).
Pertumbuhan karang memperlihatkan variasi dalam skala waktu (hari ke minggu, minggu ke bulan, musim ke tahun). Variasi pertumbuhan tersebut menyebabkan data laju pertumbuhan yang diperoleh melalui pendekatan real time untuk memprediksi laju pertumbuhan tahunan seringkali berbias. Oleh karena itu metode Retrospective dengan teknik sinar-x dapat melengkapi hasil-hasil pengukuran laju pertumbuhan karang. Melalui metode ini, juga dapat dilakukan kajian tentang keterkaitan pertumbuhan karang dengan faktor lingkungan (faktor oseanografi atau iklim).
Artikel ini mencoba menguraikan hasil pengukuran pertumbuhan tahunan karang keras Porites lutea dengan metode X-Ray pada beberapa lokasi perairan di Makassar dan mencoba menganalisis keterkaitan dengan faktor suhu dan curah hujan. Sampel karang P. lutea dikumpulkan sebanyak 5 koloni dengan ukuran diameter ± 15 cm yang diambil pada kedalaman 3–4 m dalam jarak yang berdekatan sehingga dapat diasumsikan karang tersebut berada dalam kondisi lingkungan yang sama. Sampel karang yang terkumpul, dipotong secara melintang dan tegak lurus dengan titik axial growth sehingga dihasilkan lempengan dengan ketebalan sekitar 10 mm. Lempengan karang tersebut kemudian dipapar dengan sinar-x selama 1,6 detik pada kisaran 40 KV dan 100mA. Jarak spesimen ke sumber film kurang lebih 90 cm.
Pengukuran Laju Pertumbuhan Tahunan
Hasil foto sinar-x memperlihatkan perbedaan kerapatan (densitas) kerangka kapur karang pada musim hujan dan musim kemarau. Densitas pada musim hujan terwakili dengan warna gelap (high density band=HD band) dan densitas musim kemarau dengan warna terang (low density band=LD band). Untuk menghitung laju pertumbuhan tahunan dilakukan dengan cara:
- Menentukan garis pertumbuhan tahunan karang.
- Menarik garis tegak lurus terhadap garis pertumbuhan dari titik axial growth.
- Menghitung jarak dari titik tengah HD band satu dengan titik HD band terdekat melalui garis tegak lurus yang menunjukkan pertumbuhan tahunan (mm) yang terjadi dari pertengahan musim hujan sampai pertengahan musim hujan tahun berikutnya.
Teknik Analisis Data
Analisis laju pertumbuhan selama 8 tahun antar lokasi dilakukan dengan analisis ragam satu arah (one way ANOVA) dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata menurut metode Bonferroni.
Data iklim merupakan data sekunder yang diperoleh dari Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah IV Makassar. Data yang dicatat adalah suhu udara dan curah hujan yang terjadi selama 8 tahun terakhir dari Februari 1994 sampai Januari 2002. Analisis hubungan antara laju pertumbuhan tahunan dengan suhu udara dan curah hujan dilakukan berdasarkan lokasi dan gabungan dari ketiga lokasi dengan teknik analisis regresi berganda, mengikuti persamaan:
Yi = a + b1 X1i + b 2 X2i
dimana: Yi = rata-rata laju pertumbuhan tahunan pada tahun ke-i; a dan b = koefisien regresi; X1i = rata-rata suhu udara (oC) pada tahun ke-i; dan X2i = rata-rata curah hujan (mm) pada tahun ke-i.
Untuk mengetahui peubah bebas yang memberi pengaruh nyata (suhu udara dan/atau curah hujan) terhadap laju pertumbuhan karang dilakukan pengujian koefisien regresi (b1 dan b2) dengan uji-t.
Laju Pertumbuhan Tahunan
Laju pertumbuhan yang diperoleh memperlihatkan variasi menurut waktu dan lokasi. Laju pertumbuhan terendah terjadi di Pulau Lae-Lae (8,4-10,2 mm/tahun), sedangkan paling tinggi di Pulau Samalona (10,6-12,0 mm/tahun). Secara umum, laju pertumbuhan di ketiga lokasi penelitian memperlihatkan kecenderungan yang hampir sama. Periode Februari 1994–Januari 1997 merupakan periode dengan laju pertumbuhan minimum, terkait dengan suhu udara rendah dan curah hujan tinggi.
Periode Februari 1997–Januari 1999 laju pertumbuhan karang naik seiring kenaikan suhu udara dan perubahan curah hujan. Pertumbuhan maksimum terjadi dalam periode Februari 1999–Januari 2001 sesuai dengan perubahan iklim, terutama naiknya suhu udara tahunan yang relatif tinggi.
Hal yang menarik, fenomena alam El Nino dan La Nina pada tahun 1997–1998 yang terjadi secara global pada berbagai wilayah ternyata tidak terjadi di lokasi penelitian ini. Fenomena ini dibuktikan dengan data pertumbuhan yang tidak menunjukkan adanya anomali laju pertumbuhan dalam kurun waktu tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, hal yang sama juga ditunjukkan oleh data suhu udara dan curah hujan yang memperlihatkan tidak adanya perubahan yang berarti pada tahun-tahun tersebut.
Berdasarkan analisis ragam didapatkan adanya perbedaan nyata (P≤0,05) rata-rata laju pertumbuhan karang selama 8 tahun antar lokasi penelitian. Hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa pertumbuhan karang yang tinggi terjadi di Pulau Samalona (11,1± 0,15 mm) dan Pulau Bone Batang (10,9±0,12 mm) dan berbeda nyata dengan Pulau Lae-Lae (9,2± 0,11 mm). Sedangkan antara Pulau Samalona dan Pulau Bone Batang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Laju pertumbuhan yang rendah di Pulau Lae-Lae memang sudah diprediksi sebelumnya. Letak pulau yang berdekatan dengan daratan utama dan muara Sungai Jeneberang merupakan alasan utama mengapa karang tidak dapat tumbuh dengan baik.
Dari penelitian tentang sebaran sedimen dari muara Sungai Jeneberang diketahui bahwa aliran muara sungai ini banyak membawa butiran sedimen berupa lanau dan lempung ke arah utara yakni di sekitar Pulau Lae-Lae (Lamma, 2002). Butiran sedimen tersebut dapat mengendap dan menutupi koralit sehingga mengganggu proses makan karang. Polip karang harus mengeluarkan banyak lendir yang digunakan untuk melepaskan butiran-butiran yang mengendap pada tubuhnya (Buddemeier dan Kinzie, 1976). Selain itu butiran sedimen akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke perairan, tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis simbiose zooxanthella dalam karang akan berkurang dan kemudian akan mempengaruhi kemampuan karang untuk membentuk kerangka (Suharsono, 1984). Limbah industri dan rumah tangga serta aktivitas di Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta juga menyebabkan pencemaran di sekitar Pulau Lae-Lae yang diduga mempengaruhi pertumbuhan karangnya. Walaupun belum ada data kuantitatif yang menunjukkan tingkat pencemaran perairan di Pulau Lae-Lae, tetapi berdasarkan pengamatan visual banyak dijumpai genangan minyak dan limbah padat. Hal ini ditunjang oleh data tentang kondisi perairan di Pantai Losari yang berdekatan dengan Pulau Lae-Lae yang sudah masuk dalam kategori tercemar (Lifu, 2001). Pertumbuhan karang yang berada di lokasi tercemar akan berkurang karena karang harus mengalokasikan energi yang lebih banyak untuk proses adaptasi (Edmunds dan Davies, 1989).
Laju pertumbuhan karang di Pulau Samalona memiliki laju terbesar dari ketiga lokasi penelitian. Kondisi lingkungan yang bagus, seperti kecerahan tinggi (mencapai 100%) diduga ikut menunjang pertumbuhan karang yang baik di daerah ini. Perairan yang jernih merupakan media yang baik untuk pertumbuhan karang, penetrasi cahaya yang dapat mencapai dasar perairan akan menjamin ketersediaan cahaya matahari. Cahaya matahari yang cukup diperlukan untuk proses fotosintesis zooxanthella. Aktivitas fotosintesis yang optimal dengan sendirinya memacu pertumbuhan karang (kalsifikasi), dalam hal ini meningkat sejalan dengan penurunan konsentrasi CO2 akibat proses fotosintesis tersebut (Goreau dan Goreau, 1959; Boaden dan Seed, 1985).
Daratan pulau yang belum stabil dan tingginya aktivitas penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bius diduga sebagai alasan mengapa pertumbuhan karang di Pulau Bone Batang lebih rendah dari Pulau Samalona. Perubahan garis pantai yang terjadi setiap musim membuat butiran sedimen tersuspensi. Butiran sedimen ini jelas mempengaruhi penetrasi cahaya ke dasar perairan sehingga proses fotosintesis dari zooxanthella dapat terganggu. Selain itu endapan sedimen pada permukaan koloni karang juga memberi pengaruh negatif terhadap pertumbuhan karang.
Secara umum rata-rata laju pertumbuhan tahunan di ketiga pulau berkisar 9,9-11,1 mm/tahun. Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976), laju pertumbuhan karang masif yang berkisar 10-12 mm/tahun tergolong pertumbuhan yang maksimum. Berdasarkan kriteria tersebut, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan karang di perairan Pulau Lae-Lae tumbuh dalam laju yang normal, sedangkan di Pulau Samalona dan Bone Batang pertumbuhan karangnya masih dalam laju yang maksimum. Meskipun pertumbuhan karang di perairan Pulau Lae-Lae masih dalam laju yang normal, namun sudah terindikasi mengalami tekanan jika dibandingkan dengan pulau-pulau yang terletak lebih jauh dari daratan utama. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pengelolaan untuk menjamin pertumbuhan karang di Pulau Lae-Lae, seperti mencegah siltasi yang ekstrim di muara Sungai Jeneberang dan penanganan limbah perkotaan sebelum masuk ke perairan Pantai Losari dan sekitarnya.
Hubungan Laju Pertumbuhan dengan Faktor Iklim
Hasil analisis hubungan antara laju pertumbuhan karang dengan suhu udara dan curah hujan yang dilakukan pada setiap pulau dan gabungan ketiga pulau disajikan pada Tabel 3.Melalui persamaan regresi yang dianalisis selama 8 tahun, diketahui bahwa peningkatan suhu udara akan meningkatkan laju pertumbuhan (berkorelasi positif), sedangkan peningkatan curah hujan akan menurunkan laju pertumbuhan (berkorelasi negatif). Terlihat bahwa terjadi korelasi yang kuat antara laju pertumbuhan dengan suhu udara dan/atau curah hujan pada lokasi penelitian dengan nilai R berkisar 0,831-0,931. Nilai minimum koefesien determinasi (0,690) diperoleh di Pulau Samalona menunjukkan bahwa minimum sekitar 69% dari keragaman laju pertumbuhan karang dapat dijelaskan dengan model regresi yang digunakan.
Hasil uji koefesien regresi pada masing-masing pulau terlihat bahwa peubah suhu udara berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan karang pada setiap pulau, sedangkan peubah curah hujan hanya berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan karang di Pulau Bone Batang dan gabungan ketiga pulau, namun tidak berpengaruh nyata di Pulau Lae-Lae dan Samalona.
Secara umum peningkatan suhu perairan akan meningkatkan laju pertumbuhan karang. Pertumbuhan maksimum karang biasanya terjadi di musim kemarau, yaitu bersamaan dengan peningkatan suhu perairan. Namun peningkatan suhu secara terus-menerus akan membuat pertumbuhan karang naik sampai pada titik tertentu dan kemudian menurun karena penurunan laju metabolisme dan fotosintesis zooxanthella (Tomascik et al., 1997). Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976), karang hidup optimal pada batas toleransi tertentu terhadap suhu yaitu pada kisaran 25-29oC, meskipun demikian beberapa jenis karang dapat hidup pada suhu minimum 14oC dan beberapa jenis lainnya ditemukan pada suhu maksimum 36-40oC, namun laju pertumbuhannya sangat menurun.
REFERENSI
Boaden, P. J. S. & R. Seed. 1985. An Introduction to Coastal Ecology. Blackie & Sons Ltd., Glasgow. 218p.
Brown, B. E., L. Sya’rani & M. L. Tessier. 1985. Skeletal form and growth in Acropora aspera (Dana) from the Pulau Seribu, Indonesia. J. Exp. Mar. Ecol., 86: 139–150.
Buddemeier, R. W. & R. A. Kinzie. 1976. Coral growth. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev., 14: 183–225.
Edmunds, P. J. & P. S. Davies. 1989. An energy budget for Porites porites, growing in a stressed environment. Coral Reef, 8: 37–43.
Goreau, T. F. & N. I. Goreau. 1959. The physiology of skeleton formation in corals II. Calcium deposition by hermatypic corals under various conditions in the reef. Biol. Bull., 117: 239–250.
Goreau, T. F., N. I. Goreau & T. J. Goreau. 1982. Corals and Coral Reefs in the Sea. W. H. Freeman and Company, San Francisco.
Hubbard, D. K. 1997. Reefs as dynamic systems. In: Life and Death of Coral Reefs (ed. C. Birkeland). Chapman & Hall, New York. Pp. 43–67.

Jokiel, P. L. & S. L. Coles. 1977. Effects of temperature in the mortality and growth of Hawaiian reef corals. Mar. Biol., 43: 201–208.

Jompa, J. 1996. Monitoring and assessment of coral reef in South Sulawesi Indonesia. Thesis. McMaster University, Hamilton, Canada.

Kendall, J. J., E. N. Jr. Powell, S. J. Connor, T. J. Bright & C. E. Zastrow. 1985. The importance of monitoring metabolic recovery in the coral Acropora cervicornis after short-term exposure to drilling muds: calcification rate and protein concentration. Coral Reefs, 2: 215–225.
Lamma, A. 2002. Pola sebaran sedimen dasar di perairan sekitar muara Sungai Jeneberang Makassar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unhas, Makassar.

Lifu, I. 2001. Estimasi BOD di sekitar Pantai Losari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unhas, Makassar.

Sammarco, P. W., J. C. Coll, S. LaBarre & B. Willis. 1983. Competitive strategies of soft corals (Coelenterata: Octocorallia): allelopathic effects on selected Scleractinian corals. Coral Reef, 1: 173–178.

Suharsono. 1984. Pertumbuhan karang. Oseana, IX(2): 41–48.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji & M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas (Part 1 & 2). Vol. 7. Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore.
Veron, J. E. N. 1986. Corals of Australia and the Indo-Pacific. University of Hawaii Press, Honolulu. 644p.



Rabu, 10 September 2008

Rangkuman:Kajian Keberhasilan Ekologi dari Lamun Buatan: Penilaian pd Komunitas Ikan (Chair Rani, Budimawan & M. Yamin)

Ringkasan ini merupakan rangkuman dari hasil kajian mengenai keberhasilan ekologi dari lamun buatan yaitu dengan membandingkan komunitas ikan antara lamun alami dan lamun buatan serta mengurai keterkaitannya dengan gradien lingkungan. Penelitian dirancang secara eksperimental dengan menanam lamun buatan dalam luasan 4 x 4 m2 dengan 3 ulangan (plot). Material lamun buatan yang digunakan berupa tali kalas (plastik) dengan jarak antara rumpun 30 cm. Perubahan struktur komunitas ikan dipantau setiap minggu selama 2 bulan penelitian. Pengamatan ikan dengan teknik sensus visual dilakukan pada siang hari saat air pasang. Data yang dikumpulkan dipelajari struktur komunitasnya dengan menghitung komposisi jenis, kepadatan, indeks ekologi (keanekaragaman, keseragaman dan dominansi) dan dianalisis perubahannnya secara temporal (waktu sampling) dengan bantuan grafik. Untuk mengevaluasi keberhasilan ekologinya maka struktur komunitas setiap komunitas pada lamun buatan dibandingkan dengan lamun alami dan dianalisis dengan uji t-student. Selain itu juga dipelajari kemiripan struktur komunitasnya dengan teknik analisis gerombol (Cluster Analysis). Sedangkan keterkaitan struktur komunitas dengan gradien lingkungan dianalisis dengan analisis multivariat dengan teknik Canonical Corespondence Analysis (CCA) dengan bantuan perangkat lunak Biplot. Hasil penelitian ditemukan ada 9 jenis ikan yang hidup/berkunjung pada lamun buatan yang didominasi oleh 4 jenis yaitu Halichoeres chloropterus, Abudefduf vaigiensis, Pomacentrus tripunctatus, dan Pentapodus trivittatus. Jumlah jenis dan kepadatan ikan di lamun alami masih lebih tinggi dan berbeda nyata dengan lamun buatan dan secara ekologi (berdasarkan nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi) menunjukkan bahwa komunitas ikan di lamun alami masih lebih bagus dibandingkan dengan komunitas ikan di lamun buatan. Meskipun demikian pada lamun buatan menciptakan habitat (niche) yang unik bagi ikan dibanding dengan lamun buatan yang tercermin dari struktur komunitas ikan penyusunnya yang memperlihatkan perbedaan yang kontras. Adapun sebaran temporal komunitas ikan di lamun buatan terkait dengan kecepatan arus. Ikan dengan morfologi tubuh yang besar kehadirannya menonjol pada kondisi kecepatan arus yang tinggi, demikian pula sebaliknya ikan dengan bentuk tubuh yang kecil kehadirannya dominan pada kondisi kecepatan arus yang lebih rendah.

Selasa, 26 Agustus 2008

Reproduksi Seksual Karang Tropik

Reproduksi pada karang memperlihatkan suatu variasi yang tinggi, baik antara spesies maupun dalam spesies di lokasi yang berbeda. Sebagai contoh karang Pocillopora verrucosa melakukan brooding (mengerami) di Atol Enewetak (Stimson, 1978), tetapi spawning (memijahkan gametnya) di Laut Merah (Shlesinger & Loya, 1985). Demikian pula pada jenis P. damicornis ditemukan memijahkan gametnya di bagian timur Pasifik (Glynn et al., 1991), tetapi mengerami di Enewetak dan Hawaii (Richmond & Jokiel, 1984; Stoddart & Black, 1985). Hal yang menarik bahwa P. damicornis ditemukan memijahkan gametnya dan juga mengerami planulanya di Pulau Rottnest, Australia Barat (Ward, 1992). Dari kedua cara reproduksi tersebut, tipe pemijah merupakan cara reproduksi yang dominan pada karang, yaitu 168 dari 210 spesies karang (Richmond & Hunter, 1990). Meskipun demikian cara reproduksi ini juga memperlihatkan variasi menurut lokasi, sebagai contoh cara reproduksi dengan mengerami lebih dominan di Karibia (Richmond & Hunter, 1990) tetapi di Great Barrier Reef (GBR) didominasi oleh jenis karang yang memijah (Babcock et al., 1986).

Karang tidak memiliki ciri seksual sekunder yang dapat digunakan untuk membedakan jenis kelaminnya. Oleh karena itu gonad yang hanya dapat dilihat melalui pembedahan merupakan cara satu-satunya dalam menentukan jenis kelamin suatu jenis karang (Harrison & Wallace, 1990). Jenis kelamin pada karang terdiri atas gonokorik dan hermafrodit (Richmond & Hunter 1990, Harrison & Wallace, 1990; Richmond, 1997). Dari 210 jenis yang telah diteliti, sebanyak 142 jenis tergolong hermafrodit simultan, yaitu suatu individu dapat menghasilkan gamet betina (telur) dan gamet jantan (sperma) dalam waktu yang bersamaan (Richmond & Hunter, 1990).

Proses gametogenesis pada karang secara umum bersiklus dan biasanya memperlihatkan ritme tahunan atau menurut fase bulan. Siklus gametogenesis pada karang memperlihatkan variasi menurut cara reproduksi karang, yaitu jenis yang memijahkan gametnya untuk pembuahan di luar tubuh, umumnya memiliki siklus gametogenesis yang tunggal dalam setahun, sedangkan jenis yang mengerami planulanya memiliki siklus gametogenesis yang berganda (multiple gametogenic cycles) (Harrison & Wallace, 1990). Demikian pula terlihat adanya variasi menurut lokasi (lintang), sebagai contoh karang Acropora (Isopora) palifera di Lae, Papua Nugini (daerah tropik) memiliki enam siklus gametogenesis, sedangkan di Pulau Heron (GBR) jenis ini memiliki hanya satu kali siklus gametogenesis (single gametogeneic cycles) dalam setahun (Kojis, 1986 a,b).

Dalam artikel ini akan diulas mengenai beberapa aspek reproduksi seksual karang Acropora nobilis dan Pocillopora verrucosa berdasarkan pendekatan histologi yang dilakukan di periairan terumbu karang tropik Pulau Barranglompo (PBL) Makassar, Sulawesi Selatan.

Gonad A. nobilis berasosiasi dengan 12 mesenteri, yaitu pada untaian filamen mesenteri. Gonad berkembang dalam sel benih (germ cells) yang mengelompok antara 2-8 sel (umumnya 5-8 sel). Sel benih ini berbentuk dambel dan merupakan perluasan dari filamen mesenteri dengan sebuah tangkai. Sel benih ini selanjutnya berkembang menjadi ovarium dan testis dengan proporsi yang relatif sama. Ovarium lebih dahulu berkembang dibandingkan dengan testis. Setelah musim reproduksi berakhir, sel benih menghilang dan filamen mesenteri terlihat kosong dengan mesoglea terlihat jelas dan melebar.
Ketika gonad dalam proses pematangan, gonad-gonad tersebut bergerak ke arah mulut polip. Ovarium dan testis mengalami proses pematangan secara bersamaan (seksualitasnya tergolong hermafrodit simultan) di bawah rongga mulut. Gonad-gonad matang ini memanjang dan teruntai menyerupai tabung dalam ruang gastrovaskular (rongga perut) di bawah mulut .
Gonad jantan (testis) yang matang berisi sejumlah besar massa sperma dengan bentuk lobus dan umumnya berbentuk buket, jumlah lobus dalam setiap testis berbavariasi dari 3 sampai 20 lobus. Sedangkan untuk gonad betina (telur) dalam satu lobus/ovarium juga bervariasi antara 1- 4 butir telur per lobus.
Setelah pemijahan baik pada bulan purnama ataupun bulan gelap selalu didapatkan adanya testis matang yang tidak dipijahkan, bahkan setelah berakhir musim pemijahan untuk siklus pertama (Desember-Februari) didapatkan testis matang yang mengalami atresia dari sampel histologi tanggal 27 Maret 2002 dan sebaliknya tidak ada sisa telur matang yang tidak dipijahkan ataupun telur matang yang mengalami atresia.
Karang A. nobilis atau karang-karang yang melepaskan gametnya dalam bentuk kemasan, semua telur matang akan dipijahkan, sedangkan sperma dibutuhkan hanya sebahagian dari sperma matang yang tersedia sehingga sering didapatkan sisa sperma matang atau sperma yang mengalami atresia setelah jenis karang ini memijah.
Gonad P. verrucosa juga berasosiasi dengan 12 mesenteri. Posisi gonad terletak di antara dua mesenteri atau terselip antara dua mesenteri (antara septa siklus pertama dan septa siklus kedua). Gonad berkembang dari sel benih (germ cells), tiap mesenteri hanya mengandung satu sel benih. Sel benih ini berbentuk dambel dan merupakan perluasan dari filamen mesenteri dengan sebuah tangkai dan selanjutnya berkembang menjadi sel gamet. Setelah musim pemijahan berakhir, sel benih kemudian menghilang dan ruang antara mesenteri terlihat kosong.
Gonad jenis P. verrucosa berbentuk bulat lonjong dan tetap berada di antara dua mesenteri sampai gonad tersebut matang dan siap dipijahkan. Terdapat tiga macam struktur gonad yang ditemukan dalam suatu polip, yaitu (i) polip yang di dalamnya hanya berkembang sel gonad betina (ovarium) dengan jumlah masing-masing satu untuk setiap mesenteri. Setiap ovarium memiliki jumlah sel telur yang bervariasi antara 1 sampai 11 butir; (ii) polip yang hanya mengandung sel gonad jantan (testis) dengan jumlah testis masing-masing satu untuk setiap ruang antara mesenteri utama (septa siklus pertama) dengan total jumlah 6 testis per polip dan (iii) polip yang mengandung kedua jenis gonad, baik ovarium maupun testis. Struktur gonad yang ketiga ini juga memiliki 2 variasi, yaitu polip dengan jumlah ovarium yang lebih dominan dan polip dengan jumlah testis yang dominan, tetapi secara umum variasi yang pertama lebih sering teramati. Sampel yang diambil secara mingguan (menurut fase bulan) teramati bahwa gonad-gonad tersebut mengalami pematangan secara simultan seminggu sebelum pemijahan (seksualitasnya tergolong hermafrodit simultan).
Sampel histologi yang diambil pada setiap fase bulan selama dua siklus bulan didapatkan 219 polip yang reproduktif dari 400 polip (80 koloni) yang diperiksa. Polip yang umum ditemukan, yaitu polip yang hanya mengandung ovarium dan yang mengandung ovarium dan testis dengan proporsi yang relatif sama, yaitu masing-masing sebesar 38, 63% (84 polip) dan 36,53% (80 polip), sedangkan polip yang hanya mengandung testis hanya sebesar 25,11% (55 polip) dan berbeda nyata (χ2:6,77; P<0,05).
a. Struktur dan Kondisi Gonad
Umumnya ovarium dan testis karang berkembang pada mesenteri, di dalam mesoglea atau gastrodermis (Harrison & Wallace, 1990). Jenis karang A. nobilis dan P. verrucosa memperlihatkan gonad yang berasosiasi dengan 12 mesenteri utama. Gonad yang berkembang pada ke-12 mesenteri utama juga ditemukan pada karang Poritidae di Pasifik bagian timur (Glynn et al., 1994). Gonad dihasilkan oleh sekelompok sel benih (germ cells) yang menyerupai dambel dan merupakan perluasan dari filamen mesenteri. Gonad dari kedua jenis karang ini mirip dengan yang ditemukan pada jenis Seriatopora caliendrum, Pocillopora damicronis, Stylopora pistillata dan genus Acropora, yang berkembang pada sebuah tangkai, melekat dan merupakan perluasan bidang mesenteri. Gonad ini diselimuti oleh mesoglea dan gastrodermis (Harrison & Wallace, 1990) dan oleh banyak penulis tangkai tempat berkembangnya gonad ini diistilahkan dengan sel benih.
Gonad kedua jenis karang yang diteliti juga teramati berkembang dalam lapisan mesoglea. Gonad-gonad tersebut kemudian bergerak menuju mulut (di bawah kerongkongan) ketika masuk tahap pematangan. Gonad pada karang A. nobilis memanjang dan menyerupai tabung dan tergantung di dalam rongga gastrovaskular di bawah mulut. Sedangkan gonad P. verrucosa terlihat berbentuk bulat. Perbedaan tersebut semata-mata karena penyesuaian terhadap bentuk polip itu sendiri. Polip dari A. nobilis memang terlihat lebih panjang (menyerupai tabung) dibandingkan dengan polip P. verrucosa yang cenderung bulat.
Sel telur dan testis dari A.nobilis selalu didapatkan dalam polip yang sama dengan struktur yang mirip dengan sembilan spesies simpatrik dari genus Acropora yang ditemukan oleh Wallace (1985) di Australia Timur. Sedangkan pada P. verrucosa, sel telur dan testis terdapat secara terpisah atau bersama-sama dalam polip yang sama dan memperlihatkan ukuran atau volume testis yang lebih besar dari volume telur. Hal yang sama juga teramati pada karang P. damicornis dan P. elegans di bagian timur Pasifik (Glynn et al., 1991).
Secara visual kedua jenis karang yang diteliti memiliki perbedaan yang mendasar dalam perbandingan volume antara gonad mereka. Secara kualitatif volume telur pada A. nobilis lebih besar dari volume testis dan sebaliknya volume testis lebih besar daripada volume telur pada P. verrucosa. Menurut Sakai et al. (2000), tingginya kejadian pembuahan sendiri (self-fertilization) dihasilkan oleh rasio testis:telur yang lebih rendah. Dengan demikian jenis A. nobilis berdasarkan rasio gonadnya cenderung melakukan pembuahan sendiri dan sebaliknya jenis P. verrucosa cenderung melakukan pembuahan silang (cross-fertilization).

b. Seksualitas, Cara dan Pola Reproduksi

Hasil pengamatan histologi memperlihatkan bahwa seksualitas A. nobilis dan P. verrucosa di PBL bersifat hermafrodit simultan, yaitu sel telur dan sperma berkembang dalam polip yang sama dan mencapai tahap kematangan dalam waktu yang bersamaan. Hasil ini juga diperkuat dari hasil pengamatan in situ ketika berlangsung pemijahan di alam, yaitu A. nobilis memijahkan gametnya dalam suatu paket telur-sperma yang matang dan P. verrucosa teramati polip yang hanya mengeluarkan sperma atau telur dan polip yang mengeluarkan telur-sperma secara terpisah dalam waktu yang bersamaan. Tipe seksualitas ini merupakan tipe umum pada karang skleraktinia (Harrison & Wallace 1990, Richmond & Hunter, 1990; Richmond, 1997). Kebanyakan spesies yang diidentifikasi sebagai hermafrodit simultan, umumnya dimiliki oleh famili Acroporidae, Faviidae dan beberapa Pocilloporidae (Richmond, 1997). Sedangkan untuk hermafrodit sekuensial teramati hanya pada sebagian kecil spesies karang, sebagai contoh yaitu Stylophora pistillata (Rinkevich & Loya, 1979) yang pada tahun-tahun pertama bereproduksi (koloni yang lebih kecil) sebagai jantan dan pada koloni yang lebih besar ditemukan lebih banyak gonad betina, demikian pula pada Goniastrea favulus (Kojis & Quinn, 1985).
Seksualitas dengan tipe hermafrodit merupakan salah satu bentuk adaptasi dari suatu populasi dengan kelimpahan yang rendah (Richmond, 1997). Tipe ini menguntungkan ketika peluang untuk bertemu lawan kelamin rendah dan memungkinkan terjadinya pembuahan sendiri. Hasil pengamatan pada Acropora tenuis dan A. humilis didapatkan 100% embrio berkembang dari hasil pembuahan sendiri, sedangkan dari pencampuran gamet menghasilkan planula yang gagal berkembang (Richmond & Hunter, 1990).
Pada semua sampel histologi juga terlihat adanya variasi struktur gonad dalam setiap polip P. verrucosa, yaitu polip yang hanya mengandung testis (polip jantan), polip yang hanya mengandung sel telur (polip betina) dan polip yang mengandung baik sel telur maupun testis (hermafrodit). Variasi polip dari hasil histologi ini juga ditemukan ketika dilakukan pengamatan in situ saat berlangsung pemijahan di alam. Meskipun terdapat tiga variasi polip menurut struktur gonadnya, namun polip yang mengandung ovarium (polip betina) dan polip yang mengandung ovarium dan testis (hermafrodit) terlihat lebih dominan dalam penelitian ini. Jadi dapat dinyatakan bahwa karang ini memiliki variasi tipe seksualitas yang tinggi. Kondisi yang sama juga teramati pada tipe seksualitas gonokorik seperti yang diamati pada jenis Agaracia agaricites, Acropora humilis dan Caryophyllia ambrosia yang diistilahkan dengan tipe “gonokorik labil” (Harrison& Wallace, 1990). Suatu spesies karang tidak hanya memperlihatkan keragaman dalam tipe seksualitasnya tetapi juga memperlihatkan adanya keragaman dalam cara reproduksinya, sebagai contoh karang Pocillopora damicornis ditemukan memijahkan gametnya dan juga mengerami planulanya di Pulau Rottnest, Australia Barat (Ward, 1992). Fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa karang skleraktinia memiliki plastisitas reproduksi yang tinggi.
Dalam penelitian ini, potongan sampel polip hanya diamati dalam tiga seri pemotongan yang berurutan, maka tidak menutup kemungkinan adanya bias dalam pengamatan proporsi polip menurut struktur gonadnya, oleh karena itu diperlukan pengamatan secara terperinci dari suatu seri potongan histologi yang berurutan untuk sebuah polip secara utuh sehingga dapat dipastikan proporsi polip dari ketiga variasi struktur gonad tersebut.
Dari pengamatan histologi, seluruh sampel yang diperiksa tidak pernah ditemukan adanya larva planula selama masa reproduktif terutama saat masuk fase bulan purnama ataupun bulan gelap, tetapi hanya berisi sel telur dan testis. Fenomena ini menegaskan bahwa A.nobilis dan P. verrucosa tergolong karang yang menebarkan gametnya dalam kolom air (broadcast spawning) dengan fertilisasi berlangsung di luar tubuh atau polip (bertipe pemijah sejati). Hasil ini meyakinkan karena potongan cabang yang diambil contohnya langsung difiksasi di tempat (fiksasi secara langsung dapat menghindari suatu polip melepaskan gamet atau larvanya ketika dalam pengangkutan sampel ke darat). Karang yang bereproduksi dengan cara memijah (broadcast spawning) mewakili sebagian besar karang skleraktinia (Harrison & Wallace, 1990; Richmond & Hunter, 1990), sedangkan yang mengerami (brooding) mewakili hanya sebagian kecil karang (Richmond 1997). Sebagai contoh, karang kipas Pasifik Pocillopora damicornis melepaskan planula yang dierami (brooded) menurut suatu siklus bulan secara bulanan sepanjang tahun (Richmond & Jokiel, 1984; Nakir, 2003).
Cara reproduksi merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan atau menunjukkan sejarah gangguan dari suatu lokasi. Menurut Stimson (1978), karang yang mengerami ditemukan lebih dominan di rataan terumbu dangkal yang banyak mengalami gangguan, sedangkan karang-karang yang memijah lebih mendominasi pada perairan yang kurang mengalami gangguan. Perbedaan antara kedua cara reproduksi tersebut dipengaruhi oleh banyak aspek ekologi karang yang meliputi transfer alga simbiotik ke larva, kemampuan larva (selama periode tersebut larva memiliki kemampuan untuk dapat berhasil menempel dan bermetamorfosis), penyebaran larva, pola distribusi geografi, variabilitas genetik serta laju spesiasi dan evolusi (Richmond, 1990).
Berdasarkan tipe seksualitas dan cara reproduksinya maka kedua jenis karang yang diteliti memiliki pola atau strategi reproduksi dengan sifat pemijah yang hermafrodit simultan (Broadcast spawning simultaneous hermaphrodite), yaitu suatu strategi reproduksi dengan cara menghasilkan dua jenis gamet (telur dan sperma) yang matang secara bersamaan dan menebarkan gamet tersebut dalam kolom air untuk pembuahan dan perkembangan embrio.
Di daerah Indo-Pasifik, umumnya karang-karang memiliki pola pemijah baik yang hermafrodit ataupun gonokorik (Harriot, 1983). Pola ini menunjukkan bahwa karang-karang tersebut berada di bawah kondisi lingkungan yang menguntungkan dengan ukuran koloni yang lebih besar (diameter >30 cm) yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa spesies tersebut berumur panjang, sedangkan spesies yang mengikuti pola pengeram baik yang hermafrodit ataupun gonokorik, secara umum berukuran kecil, yang secara tidak langsung menyatakan adanya penurunan pertumbuhan dengan peningkatan umur dan atau kematian induk yang tinggi (Szmant, 1986).
Hasil penelitian dengan pendekatan biologi reproduksi ini, dapat mencerminkan kondisi ekologi dalam ekosistem terumbu karang di PBL, yaitu tidak terjadinya persaingan ruang antara spesies atau antara populasi karang yang tercermin dalam ukuran koloni yang relatif besar. Fenomena “tidak adanya persaingan ruang” juga ditemukan oleh Moll (1983) dalam komunitas karang di Kepulauan Spermonde. Sebagai contoh, karang P. verrucosa di Atol Enewetak memperlihatkan pola reproduksi yang tergolong pengeram yang hermafrodit (brooding hermaphrodite) (Stimson, 1978) dengan ciri ukuran koloni yang relatif lebih kecil. Berbeda halnya di terumbu karang PBL, ukuran koloni dari spesies ini bisa mencapai 90 cm yang secara tidak langsung menunjukkan kondisi ekologi lingkungan yang baik sehingga koloni karang dapat tumbuh dalam ukuran yang relatif besar.

REFERENSI

Babcock, R.C., Bull, G.D., Harrison, P.L., Heyward, A.J., Oliver, J.K., Wallace, C.C., Willis, B.L., 1986. Synchronous spawnings of 105 sclrecatinian coral species on the Great Barrier Reef. Mar Biol 90: 379-394.

Glynn, P.W., Gassman, N.J., Eakin, C.M., Cortés, J., Smith, D.B., Guzmán, H.M., 1991. Reef coral reproduction in the eastern Pacific:Costa Rica, Panama, and Galapagos Islands (Ecuador). I. Pocilloporidae. Mar Biol 109: 355-368.

Glynn, P.W., Colley, S.B., Eakin, C.M., Smith, D.B., Cortés, J., Gassman, N.J., Guzmán, H.M., Del Rosario, J.B., Feingold, J.S., 1994. Reef coral reproduction in the eastern Pacific: Costa Rica, Panama, and Galápagos Islands (Ecuador). II. Poritidae. Mar Biol 118: 191-208.
Harriott, V.J., 1983. Reproductive seasonality, settlement and post settlement of Pocillopora damicornis (Linnaeus) at Lizard Island, Great Barrier Reef. Coral Reefs 2: 151-157.

Harrison, P.L., Wallace, C.C., 1990. Reproduction, Dispersal and Recruitment of Scleractinian Corals. Di dalam: Dubinsky (ed.). Coral Reefs : Ecosystems of The World 25. Amsterdam– Oxford - New York – Tokyo: Elsevier. hlm 132-207.

Humason, G.L., 1962. Animal Tissue Techniques. San Francisco and London: WH. Freeman and Company.

Kojis, B.L., 1986a. Sexual reproduction in Acropora (Isopora) species (Coelenterata: Scleractinia) I. A. cuneata and A. palifera on Heron Island reef, Great Barrier Reef. Mar Biol 91: 291-309.

Kojis, B.L., 1986b. Sexual reproduction in Acropora (Isopora) (Coelenterata: Scleractinia) II. Latitudinal variation in A. palifera from the Great Barrier Reef and Papua New Guinea. Mar Biol 91: 311-318.
Moll, H., 1983. Zonation and diversity of reefs off SW. Sulawesi, Indonesia. Ph.D Thesis. University of Leiden. 102 hlm.
Nakir, M.N., 2003. Reproduksi seksual karang keras Pocillopora damicornis di perairan Pulau Barranglompo, Makassar. Ringkasan Hasil Penelitian. Makassar: Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. 24 hlm.

Richmond, R.H., Jokiel, P.L., 1984. Lunar periodicity in larva release in the reef coral Pocillopora damicornis at Enewetak and Hawaii. Bull Mar Sci 34(2): 280-287.

Richmond, R.H., Hunter, C.L., 1990. Reproduction and recruitment of corals: comparisons among the Caribbean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar Ecol Prog Ser 60: 185-203.

Richmond, R.H., 1997. Reproduction and Recruitment in Corals: Critical Links in the Persistence of Reefs. Di Dalam: Birkeland C. (ed.). Life and Death of Coral Reefs. New York: Chapmann & Hall. hlm 175-197.

Sakai, K., Shinjo, K., Hayashi, C., 2000. Sex allocation in scleractinian corals. Int Coral Reef Symp, Japan. Tokyo: Science and Technology Agency-The Nippon Foundation-JAMSTEK. hlm 5 (Abstract).

Shlesinger, Y., Loya, Y., 1985. Coral community reproductive patterns: Red Sea versus the Great Barrier Reef. Science 228: 1333-1335.

Stimson, J.S., 1978. Mode and timing of reproduction in some common hermatypic corals of Hawaii and Enewetak. Mar Biol 48: 173-184.

Stoddart, J.A., Black, R., 1985. Cycles of gametogenesis and planulation in the coral Pocillopora damicornis. Mar Ecol Progr Ser 23: 153-164.

Szmant-Froelich, A.M., 1985. The effect of coloni size on the reproductive ability of the Caribbean coral Montastrea annularis (Ellis and Solander). Proc 5th Int Coral Reef Cong, Tahiti 4: 295-300

Szmant AM. 1986. Reproductive ecology of caribbean reef corals. Coral Reefs 5: 43-54.

Wallace CC. 1985. Reproduction, recruitment and fragmentation in nine sympatric species of the coral genus Acropora. Mar Biol 88: 217-233.

Ward S. 1992. Evidence for broadcast spawning as well as brooding in the scleractinian coral Pocillopora damicornis. Mar Biol 112: 641-646.
Zakai D, Levy O, Chadwick-Furman NE. 2000. Experimental fragmentation reduces sexual reproductive output by the reef-building coral Pocillopora damicornis. Coral Reefs 19: 185-188.

Senin, 25 Agustus 2008

Perikanan & Terumbu Karang yg Rusak: Bagaimana Mengelolanya?

Terumbu karang memiliki penyebaran yang luas dengan kekayaan sumberdaya hayati yang mengagumkan dan sangat menunjang kehidupan manusia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosistem tersebut memiliki produktivitas dan keragaman hayati (biodiversity) yang tinggi baik jenis ikan maupun non-ikan (invertebrata). Dalam ekosistem ini juga hampir seluruh filum yang hidup di laut terwakili dengan bentuk kehidupan dan interaksi organisme yang beragam dan kompleks. Para peneliti dan pengelola terumbu karang dalam beberapa tahun ini sangat prihatin dengan menurunnya kondisi terumbu karang dunia. Diperkirakan sekitar 50 - 70% terumbu karang secara potensial terancam oleh aktivitas manusia (Goreau, 1992; Sebens, 1994). Berdasarkan analisis terhadap ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang akibat aktivitas manusia (seperti pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebihan, praktik perikanan yang merusak, erosi, dan pencemaran), diperkirakan sekitar 27% dari terumbu karang dunia berada pada tingkat risiko tinggi dan 31% lainnya berada dalam risiko sedang (Bryant, et al., 1989). Ancaman-ancaman ini sebagian besar merupakan hasil dari peningkatan penggunaan sumber-sumber pesisir akibat populasi masyarakat pesisir yang berkembang secara cepat dan kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Di sisi lain, aktivitas penangkapan yang intensif di terumbu karang juga memberi pengaruh terhadap populasi ikan dan ekosistemnya. Pengaruh tersebut nyata karena penangkapan akan mudah mengubah komposisi dan ukuran hasil tangkapan perikanan dan selanjutnya mengubah proses-proses yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang. Secara teori, pengetahuan tentang pengaruh penangkapan dapat menolong para pengelola perikanan untuk memprediksi respons perikanan terhadap penangkapan dan menyeleksi suatu strategi pengelolaan yang dapat memelihara tipe hasil tangkapan dan kuantitas yang menguntungkan (Jennings & Lock, 1996). Mengingat besarnya ancaman terhadap terumbu karang dan ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang maka penulis mengulasnya dari sisi keterkaitan antara perikanan dan kerusakan terumbu karang, serta tindakan pengelolaan bagi terumbu karang yang sudah rusak.


PRODUKTIVITAS PERIKANAN TERUMBU KARANG

Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering menjadi tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) bagi pelbagai jenis ikan dan invertebrata. Kondisi ini menyebabkan tingginya produktivitas sekunder dan produktivitas perikanan, seperti jenis-jenis ikan, udang (lobster), oktopus, cumi-cumi, dan kekerangan. Ekspor ikan karang yang berasal dari perairan Indonesia pada tahun 1997 menghasilkan lebih dari US$ 97 juta atau sekitar 6% dari total hasil ekspor ikan di Indonesia (Salm, 1984). Estimasi hasil tangkapan lestari ikan-ikan karang Indonesia pada tahun tersebut diperkirakan 93.000 ton/tahun dan telah melampaui potensi lestari (76 ton/tahun) dengan tingkat pengusahaan sebesar 122% (Ditjen Perikanan Indonesia, 1998). Dengan mempertimbangkan luasan karang sebesar 85.700 km2 (Tomascik, et al., 1997) maka produksi sumberdaya ikan karang di Indonesia sekitar 1,09 ton/km2/tahun. Sebagai perbandingan, produksi perikanan karang di Laut Hindia bagian barat tercatat sekitar 1,37 ton/km2/tahun. Sedangkan yang tertangkap di pantai timur Pulau Mahe, Seychelles mencapai 5,6 ton/km2/tahun. Hasil tangkapan yang melampaui 20 ton/km2/tahun telah dilaporkan dari daerah rataan terumbu karang dan padang lamun yang secara intensif dieskploitasi untuk penangkapan hewan-hewan invertebrata dan ikan-ikan terumbu. Tangkapan lestari pada rataan terumbu yang dangkal melebihi 10 ton/km2/tahun (berada di bawah keadaan lebih tangkap yang serius), dan jika paparan di bawah punggung terumbu (reef crest) secara terpisah dipertimbangkan, maka umumnya pemanenan berkisar 1 – 3 ton/km2/tahun, tetapi menurun dengan bertambahnya kedalaman (Munro, 1996). Tangkapan lestari yang tertinggi sebesar 44 ton/km2/tahun di laporkan dari Samoa, Amerika (Wass, 1982). Suatu dampak dari adanya perdagangan ikan hidup yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga dalam keadaan mati, telah merangsang para nelayan untuk melakukan penangkapan dengan teknik yang cenderung merusak terumbu karang, misalnya dengan melakukan pembiusan dan penggunaan bubu sebagai salah satu penyebab kerusakan terumbu karang di Taka Bonerate, Sulawesi Selatan (Syafyudin, komunikasi pribadi). Selain ikan karang, penyu juga banyak dijumpai di terumbu karang dan ditangkap oleh nelayan setelah melepaskan telur-telurnya atau seringkali dibunuh, baik untuk diambil dagingnya ataupun cangkangnya sebagai hiasan. Walaupun aktivitas ini di beberapa daerah bersifat ilegal, menurut Salm (1984) sekitar 106 ton daging penyu hijau dari Karibia dikirim ke Bremen pada tahun 1981, jumlah tersebut setara dengan daging 7.000 ekor penyu dengan berat rata-rata 50 kg. Selain itu dilaporkan pula bahwa sekitar 32.000 – 105.000 ekor penyu mati setiap tahunnya terjual dan diekspor untuk hiasan dari tiga negara Asia Tenggara. Udang barong (spiny lobster) juga termasuk potensi sumberdaya alam hayati perairan karang yang banyak dieksploitasi, karena harga jualnya yang cukup tinggi. Penangkapan yang intensif telah menyebabkan populasinya semakin langka di alam. Sebagai contoh, di Papua Nugini, hasil tangkapan udang barong menurun dari 290 ton pada tahun 1976 menjadi 100 ton pada tahun 1981. Demikian pula di perairan karang Kepulauan Karimun Jawa, Jepara, saat ini sudah semakin sulit ditangkap terutama yang berukuran besar, jika dibandingkan dengan sekitar tahun-tahun 1980-an (Supriharyono, dkk., 1999). Produk perikanan lainnya yang sudah semakin menurun populasinya ialah kima (Tridacna spp). Selain dagingnya, cangkang kerang ini biasanya dimanfaatkan untuk bahan baku tegel teraso sehingga pengambilan kerang ini juga sangat intensif di perairan-perairan karang di seluruh dunia. Penangkapan hewan ini tidak sesulit dengan penangkapan hewan-hewan lainnya, karena sifat hidupnya yang menetap (sessil) sehingga mudah dieksploitasi (Supriharyono, 2000).

KERUSAKAN TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PERIKANAN

Terumbu karang sangat menunjang perikanan pantai, termasuk ikan dan invertebrata. Pemanfaatan oleh manusia dapat timbul dalam skala komersial besar atau dalam skala artisanal kecil. Tujuan utama dari perikanan yaitu mengumpulkan makanan, sementara tujuan perikanan lainnya dapat berkaitan dengan pengumpulan barang-barang cinderamata dan hiasan akuarium. Semua bidang usaha ini dapat dipengaruhi oleh kerusakan karang. Sementara itu, kebanyakan penelitian perikanan saat ini masih terfokus pada ikan yang dapat dimakan, kita sedikit saja menggunakan teori mutakhir untuk mengurangi dampak potensial dari degradasi terumbu karang pada perikanan terumbu karang secara garis besar. Berdasarkan teori-teori dasar perikanan, telah diterapkan beberapa prinsip dasar dalam tindakan pengelolaan untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang (Westmacott, et al., 2000). Dampak kerusakan karang (seperti pemutihan) bagi perikanan dapat mengikuti teori umum interaksi antara habitat ikan dengan terumbu karang (Pet-Soede, 2000). Beberapa faktor yang memberi sumbangan terhadap komposisi komunitas ikan di terumbu karang, semuanya berhubungan dengan struktur fisik dan kompleksitas terumbu karang itu sendiri. Pertama-tama, kompetisi makanan merupakan faktor penting dalam menentukan keragaman dan kelimpahan ikan. Pada terumbu karang sehat, kuantitas makanan yang cukup tinggi, berdampak positif dan langsung terhadap keragaman dan kelimpahan ikan (Robertson & Gaines, 1986). Pada terumbu karang yang kurang sehat (banyak karang mati) akan cepat ditumbuhi alga secara besar-besaran, alga tersebut kemudian dimakan oleh herbivora seperti ikan kakak tua (parrot fish) dan ikan butana (surgeon fish) dan akhirnya populasi dari jenis ini akan meningkat. Aktivitas makan yang tinggi dari jenis ikan ini dapat merusak struktur terumbu, yaitu terjadinya erosi kerangka karang, akan tetapi di sisi lain mereka juga membatasi pertumbuhan alga. Meningkatnya populasi ikan bernilai komersial ini juga memberikan keuntungan ekonomis (Westmacott, et al., 2000). Kedua, terumbu karang menyediakan lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva ikan dan ini akan turut menentukan struktur komunitas ikan dewasa nantinya (Medley, et al., 1983; Lewis, 1987). Terumbu karang yang memiliki struktur yang kompleks dan sehat akan memaksimalkan jumlah keragaman dan kuantitas ruang guna kesuksesan reproduksi. Ketiga, terumbu karang menyediakan naungan dan perlindungan diri dari predator, khususnya bagi ikan kecil dan ini mempengaruhi pola kelangsungan hidup dan kelimpahan saat dewasa (Eggleston, 1995). Secara garis besar, terumbu karang sehat berdampak positif bagi ketiga faktor tersebut (makanan, reproduksi, dan naungan) dan pengaruhnya ialah terjadinya peningkatan kelimpahan dan keragaman ikan. Peristiwa pemutihan karang karena peristiwa El Niño atau kasus pencemaran, tidak berdampak cepat terhadap hasil tangkapan ikan, karena secara umum komunitas ikan bereaksi lambat terhadap perubahan lingkungan dan sebagian karena beberapa perikanan bergantung pada rangkaian tunggal terumbu karang. Kematian karang akhirnya akan mempengaruhi suatu perikanan seiring dengan terdegradasinya struktur terumbu karang. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi menurut Pet-Soede (2000), yaitu:
a. Jika tidak terdapat karang mati, walaupun pemutihan karang telah terlokalisasi atau ekstensif, sangat kecil kemungkinan terjadi perubahan pada perikanan, baik pada komposisi penangkapan atau laju tangkapan;
b. Jika pemutihan telah terlokalisasi dengan tingkat kematian yang rendah, perubahan lokal mungkin terjadi pada struktur komunitas ikan terumbu karang, khususnya jika jenis karang tertentu telah terpengaruh. Menurunnya keragaman karang dan kompleksitas habitat dapat
mempengaruhi komposisi dan laju tangkapan lokal;
c. Jika pemutihan karang berlangsung secara ekstensif dan kematian secara massal terjadi,
dapat terjadi perubahan penting dalam perikanan. Perubahan dalam jangka panjang berkaitan dengan hilangnya kompleksitas dan keragaman habitat melalui erosi karang mati. Jenis pemakan karang, seperti ikan kepe-kepe (butterfly fish), dan yang khusus memanfaatkan karang sebagai naungannya, seperti beberapa ikan damsel (damsel fish) dapat dipastikan sebagai kelompok ikan pertama yang akan menurun populasinya. Akan tetapi, beberapa laporan menyatakan bahwa perubahan yang pertama kali terjadi mungkin pada kuantitas ikan pemakan alga seperti ikan kepe-kepe dan ikan butana, sebagai hasil pertumbuhan alga yang berlebihan pada karang-karang yang mati;
d. Dampak tambahan potensial, walau belum dapat dipastikan, ialah pemutihan karang (coral bleaching) dapat menyebabkan keracunan Ciguatera. Racun Ciguatera diproduksi oleh alga mikroskopis bersel tunggal (dinoflagellata) yang tumbuh sangat subur pada permukaan karang mati yang luas. Saat ikan memakan alga, racun terkumpul dalam tubuh mereka dan menyebabkan keracunan pada manusia. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan alga yang berlebihan pada terumbu karang yang terdegradasi (Quod, et al., 2000); Perubahan terumbu karang karena kematian karang dapat mempengaruhi hasil perikanan, jenis perikanan dan distribusi ruang usaha perikanan, melalui:
-Penurunan kemaksimalan hasil melalui reduksi makanan, lingkungan yang cocok bagi proses reproduksi ikan dan tempat perlindungan. Konsekuensinya dapat bervariasi menurut jenis perikanan;
-Dalam perikanan yang bergantung sepenuhnya pada ikan terumbu karang, tingkat tangkapan
mungkin berkurang dan komposisi hasil tangkapan dapat berubah menjadi jenis-jenis ikan herbivor. Ikan-ikan ini umumnya bernilai jual lebih rendah, sehingga pendapatan nelayan berkurang. Komunitas nelayan dengan sedikit pilihan sumber pendapatan akan mengalami kesulitan;
-Perikanan yang menargetkan ikan besar perenang bebas dan mencari makanannya di dekat terumbu karang akan mengalami penurunan tangkapan jika jenis tersebut bermigrasi ke daerah yang lebih baik untuk mencari mangsanya; -Perikanan dengan target jenis ikan kecil perenang bebas dan menempati daerah terumbu karang atau laguna pada kurun waktu tertentu dalam hidupnya, mungkin akan mengalami penurunan tangkapan saat terumbu karang menghilang;
-Perikanan multi-jenis dan multi-alat, yang umum di Samudera Hindia dan daerah terumbu karang lainnya, mungkin cukup fleksibel dalam beradaptasi terhadap perubahan ketersediaan ikan dan sumber mata pencaharian nelayan daerah tersebut. Lamanya waktu yang diperlukan dalam mempengaruhi ketersediaan perikanan akan memberi waktu pada nelayan untuk melakukan adaptasi.
e. Perubahan struktur terumbu karang mendorong penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak, seperti trawling, yang sebelumnya tidak bisa digunakan karena rusaknya peralatan oleh karang; dan
f. Perubahan karakteristik ruang dari habitat terumbu karang dapat mengakibatkan nelayan memindahkan usaha perikanan ke daerah lain untuk beberapa jenis ikan target.

TINDAKAN-TINDAKAN PENGELOLAAN

Regulasi
Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah suatu tantangan dengan banyaknya orang yang terlibat, dan banyak di antaranya tidak memiliki sumber pendapatan atau protein alternatif. Banyak komunitas lokal memiliki sedikit pilihan mata pencaharian dan kecil kemungkinan untuk beradaptasi dengan kondisi baru. Peningkatan pengertian dan kerjasama dalam komunitas setempat sangat penting. Menurut Westmacott, et al. (2000), langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil dengan memberikan perhatian khusus bagi tindakan-tindakan sebagai berikut :
a. Menentukan daerah tidak boleh menangkap ikan (daerah bebas penangkapan) dan pembatasan alat penangkapan untuk melindungi tempat berkembang biak dan menyediakan tempat berlindung bagi ikan;
b. Menentukan ukuran ikan yang boleh ditangkap bagi:
· ikan pemakan alga, seperti ikan kakak tua dan ikan butana yang berperan penting dalam mempertahankan substrat yang tepat bagi penempelan larva karang;
· ikan pemakan karang, seperti ikan kepe-kepe dan ikan damsel yang ditangkap untuk perdagangan ikan akuarium, mungkin berkurang populasinya karena habitat dan sumber makanannya menurun.
c. Penghentian sementara penangkapan beberapa jenis ikan terumbu karang sampai pulihnya terumbu karang tersebut;
d. Memberlakukan peraturan yang melarang praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan dinamit, jaring insang (gill net), pukat cincin (purse seine), sianida dan racun lainnya yang dapat merusak terumbu karang;
e. Memantau komposisi dan ukuran penangkapan untuk mengevaluasi kesuksesan strategi pengelolaan dan mengimplementasikan strategi baru jika diperlukan;
f. Mengembangkan mata pencaharian alternatif bagi komunitas nelayan bila diperlukan;
g. Membatasi masuknya nelayan baru ke daerah penangkapan ikan dengan sistem pemberian izin;
h. Mengatur pengambilan biota-biota terumbu karang untuk akuarium dan cindera mata. Peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan ini terdapat di beberapa negara dan harus digalakkan. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dapat membantu mengontrol perdagangan internasional dengan memberikan izin ekspor seluruh karang batu dan beberapa kerang (seperti kima raksasa). Negara-negara anggota CITES harus melaksanakan kewajiban mereka.

Alterasi Habitat
Selain tindakan-tindakan yang bersifat konvensional di atas juga dapat pula dilakukan pelbagai tindakan lain untuk memperbaiki produktivitas perikanan melalui manipulasi habitat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara penggunaan habitat buatan seperti penempatan terumbu buatan atau dengan perbaikan habitat yang rusak oleh manusia atau alam.

a. Terumbu Buatan (Artificial Reef)
Terumbu buatan adalah struktur yang berfungsi sebagai tempat perlindungan dan habitat, sumber makanan, daerah pemijahan, dan perlindungan garis pantai (White, et al., 1990). Terumbu buatan dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan material yang berbeda (Grove, et al., 1991). Terumbu buatan secara normal ditempatkan pada daerah yang produktivitasnya rendah atau habitat yang telah mengalami degradasi dan berhasil menjadi habitat untuk ikan dan organisme dasar seperti lobster, teripang, tiram, abalone, lola, dan rumput laut. Fungsi utama terumbu buatan ialah:
- mengkonsentrasikan organisme untuk penangkapan yang lebih efisien;
- melindungi organisme kecil/juvenil dan daerah pengasuhan dari pengrusakan alat tangkap;
- meningkatkan produktivitas alami dengan memberikan habitat baru bagi organisme penempel untuk melekat permanen dan diikuti oleh terbentuknya suatu asosiasi rantai makanan (food chain); dan
- menciptakan habitat dan meniru terumbu-terumbu alami untuk menarik spesies target.

Terumbu-terumbu buatan meningkatkan sistem-sistem alami. Peningkatan terjadi melalui penambahan ruang dan daerah permukaan yang diciptakan dengan struktur dalam kolom air. Penambahan ruang di daerah permukaan memberikan suatu kesempatan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan laut untuk melekat dan mencari tempat perlindungan, atau dalam kata lain ialah untuk meningkatkan jumlah habitat yang tersedia untuk kehidupan laut. Meskipun terumbu buatan memiliki beragam maksud peruntukan, tetapi umumnya digunakan dalam perikanan dan untuk perbaikan habitat, atau meringankan kerusakan (Seaman & Sprague, 1991). Beberapa di antaranya telah digunakan untuk melindungi secara pasif daerah-daerah habitat yang kritis dari pengoperasian ilegal trawl di Spanyol (Ramos-Espla & Bayle-Sempere, 1990) dan di Teluk Thailand (Polovina, 1991). Perbandingan sediaan yang bisa dipanen (standing crop) dan keragaman ikan sebelum dan sesudah penempatan terumbu buatan di Hawaii, memperlihatkan suatu peningkatan jumlah spesies dan kelimpahan setiap spesies (Brock & Buckley, 1984). Beberapa hasil studi juga menunjukkan bahwa total produksi meningkat untuk organisme-organisme tertentu, seperti oktopus (Polovina & Sakai, 1989), dan juvenil spiny lobster, Panulirus argus (Eggleston, et al., 1990). Kemampuan habitat buatan untuk meningkatkan produksi bergantung pada ekologi dari spesies target, desain terumbu, dan lokasi penempatan. Polovina (1991) mencatat bahwa terumbu buatan dapat meningkatkan biomas yang dapat dieksploitasi melalui peningkatan total biomas (sepanjang overfishing rekrutmen tidak terjadi). Jika overfishing rekrutmen terjadi, maka terumbu buatan dapat menjadi masalah buruk melalui pengelompokan ikan-ikan yang tersisa, sehingga lebih riskan untuk ditangkap.

b. Restorasi Habitat.

Usaha-usaha juga harus dibuat untuk menciptakan, memperbaiki, merehabilitasi atau mengurangi kerusakan habitat-habitat alami yang hilang. Aktivitas tersebut telah dipraktikkan secara luas. Restorasi digunakan terutama untuk memperbaiki atau mengganti kembali habitat-habitat yang telah rusak oleh aktivitas manusia atau peristiwa alam seperti badai. Habitat tropik penting yang dapat direstorasi, meliputi mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan rawa pasang surut yang kesemuanya merupakan pruduser primer utama dan habitat kritis untuk banyak spesies pantai yang penting (Bohnsack, 1989). Khusus untuk restorasi terumbu karang, teknik yang biasa digunakan ialah dengan teknik transplantasi karang, seperti yang dilakukan di Kepulauan Maldive pada kedalaman 0,8 – 1,5 m pada daerah yang mengalami kerusakan akibat penambangan (Clark & Edwards, 1995) dan di Pulau Lizard, Great Barrier Reef bagian utara (Kaly, 1995). Thayer (1992) menekankan bahwa restorasi tersebut harus menghubungkan sifat-sifat fungsional habitat pada tingkat habitat alami. Keberhasilan harus dapat diukur dalam pengertian fungsi, bukan hanya luasan daerah yang direstorasi. Woodley & Clark (1989) telah mencoba restorasi terumbu karang dan menyimpulkan bahwa pada beberapa percontohan mereka sukses merehabilitasi terumbu karang. Namun demikian, efisiensi biaya belum dapat diperoleh jika diaplikasikan pada daerah yang luas. Rehabilitasi terumbu karang mungkin dapat dicobakan hanya di daerah yang secara khusus bernilai tinggi seperti taman laut atau kawasan-kawasan konservasi laut.
Restorasi habitat, meskipun kurang didukung data, betul-betul dipertimbangkan sebagai salah satu pendekatan penting untuk perbaikan produktivitas perikanan dalam jangka panjang. Penilaian ini berdasarkan realisasi pada hilangnya habitat secara besar-besaran yang telah terjadi di banyak daerah di dunia. Pada 48 negara bagian AS, sebagai contoh, sekitar 54% dari 915.000 km2 lahan basah telah hilang pada pertengahan tahun 1970-an. Penelitian utama pada daerah yang telah direstorasi harus membuktikan hipotesis bahwa restorasi habitat mendukung populasi dan memberikan fungsi ekologi serta dapat dibandingkan dengan habitat-habitat alami (Fox, 1992).

PENUTUP

Terumbu karang sangat berarti secara ekonomi pada perikanan daerah tropis. Dengan kekayaan sumberdaya perikanannya, baik dalam skala kualitas maupun kuantitas, telah menyebabkan ekosistem ini mengalami degradasi yang cukup serius pada hampir seluruh kawasan di dunia yang memiliki terumbu karang. Tekanan atau degradasi sumberdaya terumbu karang sebagian besar berasal dari aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tak langsung. Suatu pengaruh langsung dari aktivitas manusia yang cukup parah berasal dari eksploitasi hasil-hasil perikanan dengan menggunakan metode-metode yang sangat merusak, seperti penggunaan dinamit, racun atau dengan trawling. Sedangkan aktivitas manusia secara tidak langsung seperti peningkatan pembangunan di wilayah pesisir secara tidak terkendali, aktivitas pertanian, dan polusi perairan. Kerusakan pada sistem-sistem terumbu karang tentunya akan berdampak besar terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang dalam jangka waktu yang lama, karena hilangnya sumber makanan, tempat berlindung dan tempat memijah. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi terumbu karang dan memulihkan produktivitas perikanan terumbu, yaitu regulasi penangkapan seperti pengalihan ke praktik penangkapan yang tidak merusak, penutupan area terumbu karang untuk sementara dari penangkapan sampai pulihnya kembali terumbu karang, pengaturan dalam pemberian izin penangkapan, dan pembatasan pengambilan organisme terumbu karang untuk akuarium dan hiasan (cindera mata). Bagi terumbu karang yang telah rusak bisa dilakukan restorasi habitat dengan transplantasi karang dan terumbu buatan, dan yang populer dalam perlindungan ekosistem dan sumberdaya hayati ialah dengan pendirian daerah reservasi (konservasi) secara permanen. Kawasan konservasi (reservasi) mungkin bertambah penting untuk pengelolaan perikanan tropis terutama di daerah-daerah pantai. Idealnya reservasi seharusnya diadakan sebelum stok runtuh dan harus dikombinasikan dengan tindakan-tindakan pengelolaan lainnya.

Dampak Pemanasan Global Bagi Ekosistem Terumbu Karang

Akhir-akhir ini istilah pemanasan global sangat populer, apalagi dalam bulan ini, badan dunia PBB di Bali kembali menggagas pertemuan dunia untuk mengantisipasi atau mencegah dampak dari peristiwa pemanasan global dan diiukuti oleh kurang lebih 150 negara. Hal ini sangat beralasan karena beberapa hasil riset menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan suhu bumi yang terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca (terutama CO2 dan CH4). Hasil riset juga menunjukkan adanya perubahan pola iklim, naiknya suhu permukaan laut dan kecenderungan peningkatan paras laut (mean sea level rise). Dampak yang paling mengkhawatirkan dari meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca yaitu pemanasan global. Gejala pemanasan global yang cenderung meningkat tersebut telah menarik perhatian ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk mengkaji penyebab dan memprediksi dampak dari peristiwa tersebut. Dua nampak yang sering dibicarakan karena pengaruh pemanasan global, yaitu adanya peningkatan suhu udara atau permukaan bumi dan pencairan es di daerah kutub. Kedua dampak yang ditimbulkan tersebut juga berpengaruh dalam lingkungan laut karena atmosfir dan lautan adalah dua lingkungan yang saling berinteraksi dan mengontrol iklim di planet bumi. Jika terjadi peningkatan suhu udara, maka akan meningkatkan suhu permukaan laut dan berpengaruh terutama pada pola arus dan tekanan udara di berbagai lautan sehingga mengubah pola iklim atau cuaca di permukaan bumi. Demikian pula dampak dari adanya pencairan es di daerah kutub juga berpengaruh langsung terhadap lingkungan laut, yaitu terjadinya peningkatan paras laut atau yang lebih dikenal dengan sea level rise, SLR. Dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan yaitu peningkatan kemasam perairan (pH air laut yang lebih rendah) akibat meningkatnya kandungan CO2 di perairan. Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem matang di laut tropik, tentunya juga akan sangat terpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung oleh peristiwa pemanasan global. Pengaruh tersebut bermuara pada terganggunya keseimbangan ekosistem. Selama tiga dekade terakhir, bencana-bencana besar yang terjadi telah mempengaruhi sistem-sistem di terumbu karang yang mengakibatkan kerusakan pada area yang luas, seperti badai, pemanasan oleh El-Niño, arus surut yang besar (current extra low tides), serangan Acanthaster (pemangsa polip karang) dan berbagai macam tekanan oleh aktivitas manusia. Mengingat besarnya pengaruh yang dapat timbul oleh adanya perubahan iklim, maka makalah ini akan menitikberatkan pada sisi perubahan iklim (climate changes) dan memaparkan penyebab dan dampaknya bagi kehidupan di terumbu karang, dan di bagian akhir diulas tentang nasib terumbu karang di abad mendatang.

PERUBAHAN IKLIM

Atmosfir terus mengalami perubahan dan saat ini perubahan tersebut berlangsung dengan cepat akibat aktivitas manusia. Perubahan yang sangat mengkhawatirkan yaitu peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida adalah salah satu dari beberapa gas-gas yang transparan (dapat ditembus) oleh radiasi yang datang dan menyerap radiasi yang dipantulkan dari permukaan bumi. Penyimpanan radiasi ini akan menjaga hangatnya bumi yang dikenal dengan “efek rumah kaca”. Aktivitas manusia yang memberikan dampak luar biasa terhadap peningkatan konsentrasi CO2 ialah penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi (pembalakan hutan). Scripps Institute of Oceanography mengestimasi peningkatan konsentrasi CO2 saat ini sebesar 31,4% dibandingkan tahun 1900. Suatu studi yang bertujuan untuk membandingkan level CO2 yang sekarang dengan sebelumnya telah dilakukan, yaitu dengan mengambil contoh gas-gas yang terperangkap dalam es di kutub dan glasier selama 160.000 tahun yang lalu. Gelembung-gelembung udara pada saat pembentukan es yang terkandung dalam contoh es yang diambil memberikan perbandingan komposisi sebelum dan sesudah revolusi industri. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi karbon dioksida di atmosfir pada tahun 1850 meningkat dari 280 ppm menjadi 365 ppm pada tahun 1995. Sebagai tambahan, ilmuwan mencatat siklus CO2 tahunan selama 35 tahun terakhir menunjukkan peningkatan secara terus menerus. Pengaruh deforestasi (sering disertai dengan pembakaran), penggunaan bahan bakar fosil di rumah-rumah dan industri-industri serta pertumbuhan populasi penduduk bertanggung jawab dalam peningkatan CO2. Jika kecenderungan ini berlanjut tanpa bisa dicegah, maka konsentrasi karbon dioksida pada abad mendatang diprediksi dua kali lipat dari tingkat yang tercatat beberapa waktu sebelumnya. Suatu konsensus telah dibuat bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir akan menghasilkan sebuah kecenderungan pemanasan. Gas-gas lain di atmosfir yang memberi kontribusi terhadap ”efek rumah kaca” yaitu metana (CH4) dan Klorofluorokarbon (CFC) yang digunakan dalam pendingin dan penyejuk udara dalam proses-proses pertanian dan industri. Senyawa tersebut sama pentingnya dengan karbon dioksida dalam kontribusinya terhadap pemanasan global. Jika konsentrasi gas-gas rumah kaca terus meningkat, maka semakin banyak panas yang tertahan di permukaan bumi sehingga akan meningkatkan suhu udara. Para ahli menganggap bahwa kenaikan level gas rumah kaca telah menyebabkan perubahan iklim dunia dan efek ini akan terus meningkat pada masa yang akan datang. Bukti yang terbaik ditunjukkan bahwa suhu bumi telah meningkat sebesar 0.5oC selama abad ke-20. Banyak ahli meteorologi sepakat bahwa suhu bumi akan meningkat sebesar 2-6oC selama abad ke-21 sebagai akibat naiknya kadar CO2 dan gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfir. Diperkirakan akan banyak spesies yang tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

PERUBAHAN IKLIM DAN TERUMBU KARANG

Perubahan iklim yang terjadi di atmosfir, secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan organisme di laut termasuk organisme yang hidup di terumbu karang terutama karang sebagai komunitas utama. Pemanasan global yang terjadi dalam tiga dekade terakhir telah memberi dampak yang nyata terhadap kehidupan di laut. Beberapa kondisi yang terjadi di laut akibat dari pengaruh pemanasan global dalam hubungannya dengan kehidupan karang dan keberadaan ekosistem terumbu karang dapat ditinjau dari dua kondisi di bawah ini.

Perubahan Suhu Permukaan Laut (El Niño)

Udara dan permukaan laut saling berhubungan. Jika udara lebih panas dari perairan, maka panas di transfer dari atmosfir ke perairan. Jika perairan lebih panas dari udara, maka transfer akan terjadi sebaliknya. Kecenderungan ini selalu terjadi untuk mencapai keseimbangan suhu. Jika perbedaan suhu sangat besar, tentunya transfer panas akan lebih cepat terjadi. Adanya perpindahan panas antara udara dan perairan dengan sendirinya berpengaruh terhadap distribusi dan pertumbuhan karang di lautan. Karang pembangun terumbu terbatas hanya pada perairan tropik dan sub tropik, dengan suhu permukaan perairan tidak berada di bawah 180C. Meskipun batas toleransi karang terhadap suhu bervariasi antarspesies atau antardaerah pada spesies yang sama, tetapi dapat dinyatakan bahwa karang dan organisme-organisme terumbu hidup pada suhu dekat dengan batas atas toleransinya (Johannes, 1975), oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hewan karang relatif sempit toleransinya terhadap suhu. Peningkatan suhu hanya beberapa derajat sedikit di atas ambang batas (≈ 2 – 3oC) dapat mengurangi laju pertumbuhan atau kematian yang luas pada spesies-spesies karang secara umum. Fenomena ini dikenal dengan nama pemutihan karang (coral bleaching), yaitu keluarnya alga simbiotik (zooxantela) dari jaringan hewan karang sehingga warna karang menjadi putih. Pemutihan merupakan tanggapan terhadap cekaman (stress) sewaktu terjadi perubahan besar dalam organisasi jaringan dan sitokimia dalam tubuh karang (polip). Beberapa contoh pemutihan terutama berhubungan dengan terdegradasinya pigmen-pigmen klorofil dari zooxantela, yang disebabkan oleh pecahnya atau terjadinya foto-oksidasi klorofil. Beberapa penyebab lain yang mengakibatkan pemutihan karang, yaitu terjadinya perubahan salinitas yang drastis, kondisi gelap dan kelaparan, berkurangnya suplai nutrien untuk zooxantela dari inang karang akibat cekaman dan berkurangnya ruang yang tersedia untuk zooxantela karena terhambatnya pertumbuhan jaringan inang karang serta peristiwa eutrofikasi (penyuburan) yang dapat menganggu keseimbangan simbiosis antara karang dan zooxantela. Kehadiran sejumlah besar peristiwa pemutihan karang merupakan indikator yang bagus akan adanya tekanan lingkungan yang disebabkan oleh proses-proses alami seperti peningkatan suhu permukaan selama El Niño atau oleh pengaruh aktivitas manusia seperti limbah panas dari buangan pabrik atau karena tekanan-tekanan lainnya. Suhu permukaan laut yang tinggi memberi efek lokal terhadap struktur komunitas pada setiap mintakat di terumbu karang, dan terkait dengan kematian karang secara intensif. Demikian pula organisme terumbu karang lainnya yang memiliki fotosimbiotik juga mengalami pemutihan sebagai respons terhadap tingginya suhu permukaan atau karena goncangan suhu yang umumnya terkait dengan tekanan sementara oleh panas atau dingin. Hasil pengamatan di Laut Pasifik oleh Brown dan Ogden (1993) pada tahun 1982-1983, memperlihatkan adanya peningkatan suhu permukaan laut yang mengakibatkan keluarnya alga yang bersimbiosis dengan hewan-hewan terumbu. Hewan karang yang kehilangan simbionnya ini kemudian mati dan diperkirakan terjadi penurunan kondisi terumbu karang antara 70% dan 95% (tergantung intensitas pemutihan). El Niño merupakan penyimpangan iklim global yang ditunjukkan oleh naiknya suhu permukaan laut. Tahap pertama penyimpangan fenomena ini biasanya dimulai dengan meningkatnya suhu permukaan air laut di pesisir Equador, Peru dan Chili bagian utara (di pesisir pantai Amerika Selatan di sekitar ekuator). Padahal pada musim yang normal air dingin dari dasar lautan di pesisir Equador dan Peru akan naik (upwelling) dan membawa unsur-unsur hara. Enam episode utama dari peristiwa pemutihan karang terjadi sejak tahun 1979 dan menyebabkan kematian masal populasi karang. Pada saat El Niño, aliran panas dari perairan Pasifik bagian barat masuk ke daerah perairan Pasifik bagian timur yang lebih dingin yang mengakibatkan peningkatan suhu permukaan laut secara nyata. Secara umum pengaruhnya sangat besar di daerah terumbu, seperti di Kepulauan Galapagos (97 % karang mati), sepanjang pantai Panama (75%-85% karang mati) dan Costa Rica (58% karang mati). Dari semua contoh-contoh tersebut, kematian karang terjadi bersamaan dengan periode-periode puncak suhu permukaan laut yang tinggi dan bersamaan dengan peristiwa El Niño pada tahun 1982-1983. Di Pasifik Tengah tercatat di Terumbu Tokelau, di Kepulauan Christmas dan beberapa pulau di Polynesia dan Indonesia. Di bagian barat Pasifik, pemutihan masal tidak hanya terjadi pada karang-karang batu tetapi juga hidrokoral, gorgonasea dan zoantaria. Pada tahun 1986-1988, pemutihan yang terjadi lebih ekstensif dari pada kejadian tahun 1982-1983. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa pemutihan tersebar luas di dunia, meskipun hanya dilaporkan pada sejumlah tempat yang baru, yaitu Kenya di sebelah barat Laut India, Kepulauan Maldive di bagian tengah Laut India, dan Kepulauan Andaman di Laut Andaman, Australia bagian barat, Taiwan dan Karibia. Tahun 1991-1992 kejadian El Niňo berkaitan dengan peristiwa pemutihan di Kepulauan Society (Polinesia), dengan suhu yang meningkat di atas suhu rata-rata yang menyebabkan pemutihan 53% genera karang dengan kematian genera sebesar 17%. Sepanjang tahun 1980 dan awal tahun 90-an, pemutihan masal karang biasanya bertepatan dengan suhu rerata sebesar 2 – 3oC di atas suhu normal pada banyak bagian Indo-Pasifik dan Karibia. Di perairan Indonesia pada tahun 1983 terlihat kematian karang di Laut Jawa pada bulan Maret dan terus berlanjut sampai April di daerah rataan terumbu hingga kedalaman 15 meter. Kejadian ini diduga akibat perubahan suhu perairan, yaitu hasil pengamatan suhu di Pulau Pari menunjukkan bahwa mulai Febuari suhu perairan menaik dan mencapai puncaknya pada bulan Mei sampai Juni. Periode kenaikan suhu ini bertepatan dengan proses kematian karang. Kerusakan terumbu karang yang luas akibat peristiwa pemutihan tercatat pada peristiwa El Nino tahun 1998, AIMS (2005) mengestimasi sekitar 16% terumbu karang dunia mengalami kerusakan yang serius. Untuk kasus di Indonesia, pada tahun 1997/1998, El Nino telah menyebabkan terjadinya peristiwa pemutihan karang secara luas di beberapa wilayah seperti bagian timur Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu, 90 -95% terumbu karang yang berada hingga kedalaman 25 meter mengalami kematian akibat pemutihan karang. Sementara di Bali Barat sendiri pemutihan karang menyerang sekitar 75-100% tutupan karang. pemutihan yang terjadi tahun 1997-1998 di perairan Bali merusak terumbu karang hampir di seluruh kawasan Nusa Penida, Nusa Dua, Amed, Buleleng dan Bali Barat, kondisi terparah terjadi di Bali Barat and Amed.

Perubahan Paras Laut (Mean Sea Level)

Hubungan antara paras laut dan iklim terdiri dari tiga komponen; pertama, iklim secara langsung mempengaruhi variasi paras laut yang meliputi proses-proses yang mengontrol perkembangan dan penguraian daratan-daratan es. Pada puncak glasial, 18000 tahun yang lalu, kira-kira 1/6 dari planet ini tertutupi oleh es dan daratan-daratan es, dan paras laut berada 85 m – 130 m di bawah permukaan laut saat ini; Kedua, adanya variasi mekanisme fisik yang mengubah paras laut dapat secara langsung mempengaruhi iklim global. Perubahan-perubahan secara alami dari interface permukaan atmosfir dapat mengubah pola perpindahan panas, kelembaban dan momentum antara permukaan laut dan atmosfir sehingga perubahan paras laut dapat mengubah pola arus-arus lautan oleh hadirnya atau bergeraknya batas-batas geografik. Arus-arus laut secara prinsip merupakan pemindah panas dari daerah tropik ke daerah kutub dan memainkan peranan penting dalam mengontrol sejumlah iklim regional saat ini. Potensi lain yang berpengaruh langsung terhadap paras laut dari pengaruh perubahan iklim meliputi pengaruh dari ukuran es, kimia laut, dan kandungan karbon dioksida atmosfir dan gas-gas runut lainnya; ketiga, korelasi antara paras laut dan iklim selama sejarah bumi, mungkin menghasilkan keterkaitan secara tidak langsung. Suatu contoh keterkaitan secara tidak langsung ialah hubungan antara peningkatan vulkanisme, tingginya level konsentrasi karbon dioksida di atmosfir dan tingginya paras laut secara global yang disebabkan oleh penyebaran lantai lautan yang cepat (sea-floor spreading). Peningkatan rata-rata suhu atmosfir akan secara langsung berpengaruh terhadap paras laut, terutama oleh adanya pemuaian air laut akibat peningkatan suhu permukaan laut (thermal expansion) dan pencairan gunung-gunung es di daerah kutub. Kedua penyebab tersebut akan menambah volume air dan diprediksi akan mengalami peningkatan rata-rata 5 mm/tahun selama dekade mendatang. Kenaikan paras laut dapat membahayakan spesies-spesies terumbu karang yang hanya tumbuh pada perairan dangkal. Beberapa spesies terumbu karang mungkin tidak dapat tumbuh dengan cepat (laju kalsifikasi menurun) dalam mengimbangi naiknya permukaan air laut dan secara perlahan-lahan akan “tenggelam” Bagaimana dampak dari peningkatan paras laut dengan terumbu karang di Indonesia? Pengaruhnya tidak seperti prediksi umum yaitu akan menimbulkan beberapa dampak. Hipotesis ini muncul berdasarkan bahwa kepulauan di Indonesia berada pada daerah tektonik aktif. Perubahan-perubahan relatif dari paras laut merupakan kejadian yang umum, ketika mempertimbangkan laju pengangkatan tektonik yang cepat. Pengangkatan tektonik ini dapat dibuktikan dari banyaknya pulau-pulau di bagian timur Kepulauan Indonesia. Terumbu karang berkembang sejak zaman Tertiary dan komunitas karang tetap bertahan dari perubahan iklim global dan fluktuasi paras laut sejak zaman purba. Umumnya data genera karang yang ada mulai dari zaman Cretaceous dan awal Tertiary sampai zaman es (Plio-pleistocene) menunjukkan laju kepunahan yang rendah. Komunitas terumbu karang tidak hanya beradaptasi terhadap lingkungan seperti yang terjadi saat ini, tetapi mereka juga beradaptasi terhadap perubahan iklim yang berulang-ulang dan ekstensif. Peningkatan paras laut tidak menjadi masalah yang serius terhadap terumbu karang dan ekosistem perairan laut dangkal lainnya karena laju kenaikan paras laut diprediksi masih dalam batas toleransi. Namun diprediksi jika peningkatan tersebut melampaui suatu laju sekitar 40 cm per abad, maka banyak terumbu karang akan tenggelam. Seperti yang terlihat bahwa umumnya terumbu-terumbu di Kepulauan Indonesia sesungguhnya diuntungkan oleh adanya peningkatan paras laut. Tingkat optimal untuk pertumbuhan karang menyebar pada kisaran kedalaman sekitar 10 m dan daerah pertengahan (subsurface), selanjutnya kejadian dari peningkatan paras laut pada abad ini, memungkinkan karang dapat bertahan atau tumbuh terus menerus (to keep up) di banyak tempat. Pertanyaan selanjutnya ialah apakah karang-karang yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia dapat memelihara kemampuan karang untuk terus bertahan atau dengan kata lain apakah mereka tetap tumbuh? Tingginya muka air akan membuka daerah rataan terumbu secara luas sehingga sangat memungkinkan berlangsungnya kolonisasi karang-karang baru (termasuk padang lamun dan mangrove), dengan catatan bahwa sistem-sistem mereka tidak dirusak oleh aktivitas manusia.

Meningkatnya Kemasaman Perairan

Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir akan mengubah kimia laut dan berimplikasi serius terhadap terumbu karang dan organisme penghasil kapur lainnya. Sekitar 30% CO2 yang lepas ke atmosfir oleh berbagai aktivitas manusia sejak Revolusi Industri terserap oleh lautan. Fenomena ini akan mengubah kimia laut, yaitu menjadi lebih asam (pH rendah) dan mengubah konsentrasi ion karbonat dan bikarbonat. Banyak organisme (karang, alga berkapur, moluska, organisme bentik dan plankton seperti foraminifera dan coccolithophora) yang menggunakan ion kalsium dan bikarbonat dari air laut untuk mensekresikan rangka kapur terpengaruh akibat perubahan kimia laut. Organisme tersebut akan menghasilkan rangka kapur yang tidak sebaik ketika era pra industri dan akhirnya menghasilkan rangka yang rapuh dan tumbuh lebih lambat. Struktur terumbu yang lemah tersebut akan mengurangi daya lenting terhadap kekuatan alam (erosi) dan pertumbuhan yang lebih lambat akan menurunkan laju pemulihan setelah peristiwa pemutihan dan gangguan alam lainnya.

NASIB TERUMBU KARANG DI ABAD MENDATANG

Sejumlah pengaruh tidak langsung dari perubahan iklim akan memberikan pengaruh tambahan terhadap perkembangan terumbu karang di masa mendatang, yaitu:
a. Peristiwa badai dan hujan, berkaitan dengan periode meluasnya daerah-daerah yang berawan dan mendung. Kondisi ini secara potensial dapat menyebabkan katastrofik dalam jangka pendek pada komunitas karang, dan di sisi lain proses pemulihannya memerlukan waktu paling tidak satu dekade. Meningkatnya frekuensi gangguan (badai) dan tidak cukupnya waktu bagi komunitas karang untuk melewati suksesi secara alami dari fase alga - karang lunak - berbagai karang skleraktinia, adalah ancaman terhadap keberadaan terumbu karang;
b. Peningkatan suhu permukaan laut dan kemungkinan bersamaan dengan faktor cekaman lain seperti penurunan salinitas setelah hujan dapat meningkatkan peristiwa pemutihan karang. Proyeksi dari suatu pemodelan komputer memperkirakan akan terjadi peningkatan frekuensi dan perluasan peristiwa pemutihan karang. Bahkan dalam tahun 2020-2030 peristiwa tersebut bisa terjadi secara tahunan pada semua daerah-daerah sebaran utama terumbu karang;
c. Peningkatan jumlah penduduk dunia akan meningkatkan aktivitas pembangunan, termasuk di daerah pesisir dan sepanjang daerah aliran sungai yang secara langsung menjadi ancaman terhadap keberadaan ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai penyaring sedimen dan hara. Hilangnya atau berkurangnya fungsi mangrove dan bersamaan dengan semakin tingginya frekuensi hujan selama kejadian La Niña akan menjadi ancaman langsung bagi ekosistem terumbu karang akibat proses sedimentasi dan siltasi.
Ancaman serius lainnya ialah penyuburan perairan (eutrofikasi) akibat aktivitas pertanian di daratan dan buangan limbah rumah tangga yang mengalir masuk ke daerah pantai melalui sungai-sungai dan kanal. Sebagai contoh, peningkatan kandungan nitrogen sebesar 20 μg/liter, meskipun faktanya dapat meningkatkan produktivitas primer sebesar 25%, tetapi mengurangi laju kalsifikasi karang sebesar 50-60%. Selain itu, eutrofikasi ini akan menyuburkan perkembangan fitoplankton, zooplankton, dan makroalga. Kemelimpahan hewan-hewan tersebut akan menguntungkan hewan yang menyaring makanannya (filter feeders) termasuk berbagai jenis bioeroder (organisme pembor rangka karang) seperti Lithopaga spp. (Bivalvia), cacing (polychaeta), spons, briozoa, tunikata, ikan pemakan alga seperti ikan kakak tua (parrotfish) dan ikan butana (surgeonfish), dan bulu babi. Bioeroder ini dapat merusak (mengikis) struktur rangka karang dan terumbu serta mengubah struktur trofik terumbu karang. Partikel-partikel karbonat yang tererosi tersebut selanjutnya akan mengendap di bagian depan lereng terumbu (fore reef slope) atau terbawa ke laut dalam. Diprediksi bahwa dalam dekade mendatang umumnya terumbu karang tidak hanya memperlihatkan penurunan penutupan oleh organisme-organisme pembangun terumbu, tetapi juga akan mengalami kerusakan karena peningkatan bio-erosi oleh organisme pelubang (borers) dan perumput (grazers) Meskipun beberapa pakar juga membuktikan adanya kontribusi dari aktivitas manusia (faktor antropogenik) dalam persitiwa kematian masal (pemutihan karang), namun faktor terakhir tentunya sangat bervariasi menurut lokasi. Tampaknya kebanyakan spesies tidak dapat menyesuaikan diri dengan cepat terhadap drastisnya peningkatan suhu bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Tindakan pengelolaan dalam skala lokal mungkin kurang berhasil tanpa disertai usaha yang sifatnya global, karena penyebab umum dari pemutihan karang tidak bersifat lokal. Oleh karena itu diperlukan tindakan yang bersifat global, yaitu aksi bersama (kebijakan tingkat internasional) tentang bagaimana menekan peningkatan efek rumah kaca akibat aktivitas manusia. Kegiatan-kegiatan tersebut di atas haruslah dihentikan atau ditekan seminimal mungkin, sehingga suhu bumi atau suhu permukaan laut tidak mengalami peningkatan yang drastis. Namun demikian dalam skala lokal perlu juga dilakukan tindakan untuk mengurangi tekanan antropogenik sehingga akan meningkatkan kemampuan karang dalam beradaptasi terhadap perubahan alam dan juga dapat meningkatkan kemampuan karang dalam pemulihan (peningkatan daya pulih). Pengalaman mengajarkan kepada kita bahwa “pemulihan hanya terjadi bila tekanan tambahan akibat kegiatan manusia dibatasi”

Rehabilitasi Padang Lamun: Pentingkah?

Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang lamun, yaitu: 1) sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih; 2) lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non ikan); 3) lamun sebagai produser primer; 4) komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan 5) lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-elemen langka di lingkungan laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).

Suatu yang sangat ironis jika kita perhatikan fungsi lamun yang begitu penting tetapi di sisi lain perhatian kita terhadap ekosistem ini sangat kurang (dibandingkan dengan dua ekosistem pesisir lainnya, yaitu mangrove dan terumbu karang). Coba kita iseng-iseng menelusuri dua hal mendasar, 1) sebaran dan luasan ekosistem padang lamun di Indonesia; dan 2) kondisi atau tingkat kerusakan ekosistem padang lamun di Indonesia. Jawaban pertama paling bisa kita dapatkan sebaran secara kualitatif, tapi luasan tidak pernah kita dapatkan. Adapun jawaban yang kedua jangan harap akan ada penjelasan untuk skop nasional.

Banyak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir telah mengorbankan ekosistem padang lamun, seperti kegiatan reklamasi untuk pembangunan kawasan industri atau pelabuhan seperti kasus di Teluk Banten. Di sisi lain masih kurang upaya yang kita berikan untuk menyelamatkan ekosistem ini. Meskipun data mengenai kerusakan ekosistem padang lamun tidak tersedia tetapi faktanya sudah banyak mengalami degradasi akibat aktivitas di darat.

Dampak yang nyata dari degradasi padang lamun mengarah pada penurunan keragaman biota laut sebagai akibat hilang atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem ini. Upaya rehabilitasi menjadi isu yang penting untuk dipikirkan bersama, seperti kegiatan transplantasi lamun pada suatu habitat yang telah rusak dan penanaman lamun buatan untuk menjaga kestabilan dan mempertahankan produktivitas perairan.

Dalam kegiatan transplantasi dan penanaman lamun buatan, keberhasilannya tidak saja ditinjau dari seberapa besar luasan habitat yang direhabilitasi tetapi yang jauh lebih penting untuk dinilai yaitu seberapa besar pemulihan ekologi dari habitat tersebut oleh kegiatan transplantasi (pengembalian fungsi ekologi dari ekosistem). Penanaman lamun buatan atau transplantasi lamun yang penting untuk dikaji lebih dalam yaitu kajian keberhasilan fungsi ekologi dari kegiatan tersebut, dalam hal ini peningkatan biodiversitas atau produktivitas perairan. Hasil tersebut tentunya bisa menjadi justifikasi dari suatu kegiatan rehabilitasi.

Dalam penciptaan habitat baru dengan lamun buatan/lamun alami diharapkan memberikan habitat baru bagi berbagai biota laut dan dapat menciptakan suatu proses ekologi terutama proses makan memakan (food chain dan food web). Pada tingkatan produser primer, komunitas epifit merupakan komunitas yang muncul lebih awal dan memodifikasi lingkungan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Munculnya komunitas epifit akan mengundang munculnya komunitas dengan level tropik yang lebih tinggi seperti komunitas makrozoobentos yang memanfaatkan detritus dan bahan organik yang terperangkap di sedimen oleh adanya struktur fisik dari lamun buatan/alami. Komunitas epifit juga akan mengundang jenis nekton untuk mencari makan di daerah lamun buatan. Dengan munculnya berbagai komunitas pada suatu lamun buatan dengan sendirinya akan meningkatkan produktivitas perairan dan berimplikasi pada peningkatan biodiversitas biota laut.

Informasi mengenai peningkatan produktivitas dan biodiversitas dari suatu lamun buatan/alami dapat menjadi informasi yang berharga dan akan memberikan penguatan sains dari suatu kegiatan rehabilitasi dalam upaya peningkatan kualitas perairan dan peningkatan produktivitas perikanan.